Jumat, 02 Maret 2012

CANDI DI JAWA BARAT


Sejarah sebuah candi di Indonesia tidak terlepas dari sejarah sebuah kerajaan, karena pembangunan candi pada masa lalu adalah atas perintah seorang raja atau kepala pemerintahan yang menguasai wilayah tempat candi tersebut berada. Berabad-abad lamanya, sejak masa penjajahan Belanda, hampir tidak ada bangunan peninggalan kuno yang ditemukan di Jawa Barat. Peninggalan masa lalu yang dijadikan pijakan dalam upaya menjelaskan secara runtut sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa Barat, khususnya kerajaan Hindu dan Buddha, selama ini berupa prasasti yang ditemukan di beberapa tempat serta kitab-kitab kuno, seperti Pustaka Jawadwipa, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, dan Chu-fan-chi  karangan Chau Ju-kua (1178-1225) yang merupakan catatan (buku) Cina yang memuat uraian tentang Sunda.

Salah satu dari prasati tersebut adalah Prasasti Juru Pangambat atau Prasasti Pasir Muara (458 Saka atau 536 M) ditemukan di Pasir Muara, Bogor menerangkan tentang pengembalian pemerintahan negara kepada Raja Sunda. Prasasti lainnya adalah Prasasti Telapak Gajah peninggalan Raja Purnawarman yang juga ditemukan di Pasir Muara, yang memuat gambar telapak gajah dan keterangan yang menjelaskan sepasang jejak telapak kaki tersebut adalah milik gajah kepunyaan penguasa Tarumanagara.
Prasasti Ciaruteun ditemukan di S. Ciaruteun, sekitar 100 m dari muara S. Cirateun ke S. Cisadane dan berjarak beberapa ratus meter dari tempat ditemukannya Prasasti Juru Pangambat. Prasasti Ciaruteun memuat gambar jejak sepasang kaki dan tulisan berbahasa Sansekerta dalam huruf Palawa yang menerangkan bahwa jejak telapak kaki tersebut milik Raja Purnawarman yang menguasai Tarumanagara. Menurut informasi yang dimuat dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, Raja Purnawarman memerintah Tarumanegara pada tahun 395-434 M. Prasasti Kebon Kopi (942 M) ditemukan di bekas perkebunan kopi milik Jonathan Rig di Ciampea, juga tidak jauh dari ditemukannya Prasasti Juru Pangambat. Sebuah prasasti juga ditemukan di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Prasasti ini juga memuat gambar sepasang telapak kaki dan keterangan bahwa telapak kaki tersebut milik Raja Purnawarman yang memerintah Taruma. Masih banyak prasasti lain yang dapat dijadikan sumber informasi mengenai sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa barat, seperti Prasasti Citatih (Cibadak, 1030 M), Prasasti Cidanghiang (Lebak) dan Prasasti Jambu (Nanggung; sebelah barat Bogor).
Berdasarkan keterangan dalam prasasti dan kitab-kitab yang ada, dapat diketahui bahwa Kerajaan Taruma didirikan Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M. Sang raja wafat tahun 382 dan digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382 – 395 M). Raja Tarumanegara berikutnya adalah Purnawarman (395 – 434 M), yang membangun ibukota kerajaan baru, Sundapura, pada tahun 397 M. Kerajaan Tarumanagara hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Raja Tarumanagara terakhir, Linggawarman, digantikan oleh menantunya pada tahun 669 M.
Prasasti Juru Pangambat yang menerangkan pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda dibuat tahun 536 M, yaitu pada masa pemerintahan Suryawarman (535 – 561 M), Raja Tarumanagara ke-7. Dalam Pustaka Jawadwipa disebutkan bahwa dalam masa pemerintahan Candrawarman (515 – 535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara, seperti halnya penyerahan kembali kekuasaan oleh Suryawarman. Pengembalian kekuasaan tersebut merupakan petunjuk bahwa Sundapura, yang semula merupakan ibu kota Tarumanagara, telah berubah status menjadi sebuah kerajaan. Dengan demikian, pusat pemerintahan Tarumanagara mengalami perpindahan ke tempat lain.
Pada tahun 670 M, Tarumanagara terpecah menjadi dua kerajaan yang dibatasi oleh S. Citarum, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Raja-raja yang memerintah di Kerajaan Sunda merupakan keturunan Maharaja Tarusbawa, menantu Raja Linggawarman. Raja Tarusbawa, yang memerintah Kerajaan Sunda sampai dengan tahun 723 M, mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman dekat Hulu Cipakancilan.
Pada tahun 732 M. Raja Tarusbawa digantikan Raja Sunda II yang bergelar Prabu Harisdarma. Raja Sunda II yang juga menantu Raja Tarusbawa kemudian menaklukkan Kerajaan Galuh dan lebih dikenal dengan nama Raja Sanjaya. Sebagai ahli waris Kalingga ia kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Mataram Hindu, di Jawa Tengah, pada tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya, Rakai Panaraban. Putra Raja Sanjaya yang lain, Rakai Panangkaran, mewarisi kekuasaan di Kerajaan Mataram Hindu.
Baru sekitar tigapuluh tahun terakhir ini ditemukan beberapa situs sejarah berupa reruntuhan bangunan kuno di beberapa tempat di Jawa Barat. Temuan-temuan tersebut di antaranya adalah: Candi Bojongmenje di Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung (ditemukan pada 18 Agustus 2002); Candi Candi Ronggeng atau Candi Pamarican di Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis (ditemukan tahun 1977); Kompleks candi Batujaya di Kecamatan Batujaya dan di Cibuaya Kabupaten Karawang; serta Candi Cangkuang di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles Kabupaten Garut. Walaupun sejauh ini belum dapat dipastikan kapan dan oleh siapa candi-candi tersebut dibangun, namun penemuan reruntuhan bangunan kuno tersebut merupakan fakta baru yang dapat digunakan untuk mengungkap sejarah kerajaan di wilayah Jawa Barat.
Berikut Candi-candi di Jawa Barat
Candi Batujaya

Saat ini, kompleks Candi Batujaya merupakan areal persawahan dan pemukiman penduduk. Sebagian besar bangunan purbakala di lokasi tersebut masih tertimbun dalam ‘unur’ atau ‘lemah duwur’ (tanah darat menyembul diantara pesawahan). Sampai dengan pertengahan tahun 2004 ini, penggalian dan penelitian di kompleks percandian di Batujaya masih terus berlangsung di bawah pengawasan Tim Peneliti Situs Batujaya dari Universitas Indonesia.

Walaupun belum didapatkan data mengenai kapan dan oleh siapa candi-candi di Batujaya dibangun, namun para pakar arkeologi menduga bahwa candi-candi tersebut merupakan yang tertua di Jawa, yang dibangun pada masa Kerajaan Tarumanegara (Abad ke-5 sampai ke-6 M). Sampai tahun 1997 sudah 24 situs candi yang ditemukan di Batujaya dan baru 6 di antaranya, umumnya merupakan hanya sisa bangunan, yang sudah diteliti. Tidak tertutup kemungkinan bahwa masih ada lagi candi-candi lain di Batujaya yang belum ditemukan. Yang menarik, semua bangunan candi menghadap ke arah yang sama, yaitu 50 derajat dari arah utara.
Di antara situs yang sudah selesai digali dan diteliti oleh para ahli purbakala adalah situs Candi Jiwa dan Situs Candi Blandongan yang jaraknya tidak terlalu berjauhan. Data yang didapat mengenai Candi Blandongan adalah bahwa panjangnya 21,6 m dan bahwa bangunan itu menghadap barat laut. Bentuk bentuk dan strukturnya belum diketahui. Fungsi Candi Blandongan juga belum dapat dipastikan, walaupun dalam bahasa setempat, kata ‘blandongan’ berarti pendapa atau bangunan besar untuk pertemuan atau menerima tamu. Berdasarkan bentuk bangunan stupa yang ditemukan di desa Segaran Telagajaya, diduga kompleks percandian Batujaya berlatar belakang agama Buddha.
Candi Bojongmenje
- -
Situs Bojongmenje terletak  di Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Saat ini candi yang diperkirakan pernah berdiri di situs ini masih dalam proses penelitian dan pemugaran, sehingga belum ada gambaran mengenai bentuk  dan fungsi bangunan tersebut pada mulanya.
Candi Bojongmenje dibangun dari batu andesit, diperkirakan  berdenah dasar bujur sangkar dengan sisi  sepanjang 6 m. Dari reruntuhan bangunan yang ditemukan, dapat diketahui bahwa bentuk bangunan candi sangat sederhana dan dindingnya hanya terdiri satu lapis tanpa hiasan  relief.  Kesederhanaan tersebut menjadi petunjuk bahwa peradaban manusia yang membuatnya   masih lebih sederhana dibandingkan dengan peradaban pada masa pembangunan Candi Prambanan dan Candi Barabudhur. Sampai saat ini belum ditemukan sumber tertulis yang menjelaskan hubungan  Candi Bojongmenje dengan kerajaan tertentu yang pernah ada di Jawa Barat  namun, berdasarkan temuan-temuan arkeologis  di situs Bojongmenje, diperkirakan bahwa candi tersebut dibangun pada abad ke-7 dan ke-8. Dengan demikian, usia Candi Bojongmenje  lebih tua dibandingkan dengan usia candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur atau setidaknya setara dengan Candi Dieng di Jawa Tengah.
- -
Situs purbakala ini ditemukan pada 18 Agustus 2002. Penemuan benda tersebut berawal dari upaya warga setempat untuk mencari tanah penguruk gang di dekat lokasi candi. Di lahan milik salah seorang penduduk, yang bernama Anen, mereka melihat sekerumunan semut. Para penduduk kemudian  mencoba menggali tanah di sekitar lokasi kerumunan semut tersebut. Sampai pada  kedalaman setengah meter, mereka menjumpai tanah berongga yang di sekelilingnya terdapat tumpukan batu yang tertata rapi. Penggalian terus dilakukan sampai formasi batu-batu itu terlihat. Ketika mencapai kedalaman sekitar 80 cm, penggalian pun dihentikan dan temuan tersebut dilaporkan kepada yang berwajib.
- -
Sampai akhir tahun 2005 ini proses penggaliannya masih belum selesai, sekeliling situs yang terletak di perkampungan penduduk ini sekarang telah dikelilingi  pagar. Tempat berdirinya bangunan yang saat ini sedang digali tampak menyerupai kolam yang dipenuhi air. Reruntuhan bangunan di tengahnya juga dipasangi pagar kawat berduri untuk mencegah terjadinya pengrusakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Di tepi areal situs didirikan bangunan sementara yang dipergunakan sebagai tempat pencatatan, penelitian dan penyimpanan benda-benda arkeologis yang ditemukan di situs tersebut. Di dalam bangunan tampak    berbagai bentuk batu reruntuhan bangunan teronggok di sudut ruangan. Beberapa  onggokan batu reruntuhan bangunan juga terlihat berjajar sepanjang sisi halaman. Di antara onggokan-onggokan tersebut terdapat juga potongan-potongan bata merah. Sebagian lagi masih dalam proses perekaan mengenai bentuk dan letaknya.
Menurut petugas yang menjaga situs ini, ada hal-hal yang diduga mempercepat kerusakan Candi Bojongmenje, di antaranya bahwa konon lahan tersebut pernah dijadikan tentara Jepang sebagai  tempat latihan perang menggunakan alat-alat berat seperti tank, panser, dsb. Selain itu,  lahan tersebut juga  pernah menjadi tempat pemakaman umum.
Candi Cangkuang
Candi Cangkuang terletak di Kampung Pulo, Desa Cangkuang , Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Desa Cangkuang dikelilingi oleh empat gunung besar di Jawa Barat, yang antara lain Gunung Haruman, Gunung Kaledong, Gunung Mandalawangi dan Gunung Guntur. Nama Candi Cangkuang diambil dari nama desa tempat candi ini berada. Kata ‘Cangkuang’ sendiri adalah nama tanaman sejenis pandan (pandanus furcatus), yang banyak terdapat di sekitar makam, Embah Dalem Arief Muhammad, leluhur Kampung Pulo. Daun cangkuang dapat dimanfaatkan untuk membuat tudung, tikar atau pembungkus gula aren.
Cagar budaya Cangkuang terletak di sebuah daratan di tengah danau kecil  (dalam bahasa Sunda disebut situ), sehingga untuk mencapai tempat tersebut orang harus menggunakan rakit. Selain candi, di pulau itu juga terdapat pemukiman adat Kampung Pulo, yang juga menjadi bagian dari kawasan cagar budaya.
Candi Cangkuang ditemukan kembali oleh Tim Sejarah Leles pada tanggal 9 Desember 1966. Tim penelitian yang disponsori oleh Bapak Idji Hatadji (CV. Haruman) ini diketuai oleh Prof. Harsoyo,  Uka Tjandrasasmita (ketua penelitian sejarah Islam dan lembaga kepurbakalaan),  dan mahasiswa dari IKIP Bandung. Penelitian dilaksanakan berdasarkan tulisan Vorderman dalam buku Notulen Bataviaasch Genotschap terbitan tahun 1893 yang menyatakan bahwa di Desa Cangkuang terdapat makam kuno  dan sebuah arca yang sudah rusak.  Disebutkan bahwa temuan itu berlokasi di bukit Kampung Pulo.
Makam dan  arca Syiwa yang dimaksud memang diketemukan. Pada awal penelitian terlihat adanya batu yang merupakan reruntuhan sebuah bangunan candi. Makam kuno yang dimaksud adalah makam Arief Muhammad  yang dianggap penduduk setempat sebagai leluhur mereka.
Pada awal penelitian terlihat adanya batu yang merupakan reruntuhan  bangunan candi dan di sampingnya terdapat  sebuah makam kuno berikut sebuah arca Syiwa yang terletak di tengah reruntuhan bangunan. Dengan ditemukannya batu-batu andesit berbentuk balok, tim peneliti yang dipimpin Tjandrasamita merasa yakin bahwa di sekitar tempat tersebut semula terdapat sebuah  candi.  Penduduk setempat seringkali menggunakan balok-balok tersebut untuk batu nisan.
Berdasarkan keyakinan tersebut, peneliti melakukan penggalian di lokasi tersebut. Di dekat kuburan Arief Muhammad peneliti menemukan fondasi candi berkuran 4,5 x 4,5 meter dan batu-batu candi lainnya yang berserakan.
Dengan penemuan tersebut Tim Sejarah dan Lembaga Kepurbakalaan segera  melaksanakan  penelitian didaerah tersebut. Hingga tahun 1968 penelitian masih terus berlangsung. Proses pemugaran Candi dimulai pada tahun 1974-1975 dan pelaksanaan rekonstruksi dilaksanakan pada tahun 1976 yang meliputi kerangka badan, atap dan patung Syiwa serta dilengkapi dengan sebuah joglo museum dengan maksud untuk dipergunakan menyimpan dan menginventarisir benda-benda bersejarah bekas peninggalan kebudayaan dari seluruh Kabupaten Garut. Dalam pelaksanaan pemugaran pada tahun 1974 telah ditemukan kembali batu candi yang merupakan bagian-bagian dari kaki candi.   Kendala utama rekonstruksi candi adalah batuan candi yang ditemukan hanya sekitar 40% dari aslinya, sehingga batu  asli yang digunakan merekonstruksi  bangunan candi tersebut hanya sekitar 40%. Selebihnya dibuat dari adukan semen, batu koral, pasir dan besi.
Candi Cangkuang merupakan candi pertama dipugar, dan juga untuk mengisi kekosongan sejarah antara Purnawarman dan Pajajaran. Para ahli menduga bahwa Candi Cangkuang didirikan pada abad ke-8, didasarkan pada:
1. tingkat kelapukan batuannya;
2. kesederhanaan bentuk (tidak adanya relief).

Setelah dipugar, Candi Cangkuang  mempunyai ukuran yang sesuai dengan keadaan alamnya. Tinggi bangunan sampai ke puncak atap adalah 8,5 m. Tubuh candi berdiri di atas kaki  berdenah bujur sangkar berukuran 4,5 X 4,5 m.  Atap candi bersusun-susun membentuk piramid. Sepanjang tepian setiap susunan dihiasi semacam mahkota-mahkota kecil, mirip yang terdapat di candi-candi Gedongsanga.
Pintu masuk ke  ruangan dalam tubuh candi terletak di sisi timur. Untuk mencapai pintu terdapat tangga selebar sekitar 75 cm setinggi sekitar 1 m. Pintu masuk tersebut diapit dinding yang membentuk bingkai pintu. Tidak terdapat hiasan pahatan pada bingkai pintu.
Saat ini di ambang pintu masuk ke ruangan tersebut telah dipasang pintu berterali besi yang terkunci.Dalam candi terdapat ruangan  seluas  2,2 m2 dengan tinggi  3,38 m.  Di tengah ruangan terdapat arca Syiwa setinggi 62 cm. Konon tepat di bawah patung terdapat lubang sedalam 7 m, namun hal itu tidak dapat dibuktikan karena pengunjung tidak diperkenankan masuk ke ruangan.
Pemukiman adat Kampung Pulo
Kampung Pulo merupakan sebuah kampung kecil, terdiri dari enam buah rumah dan enam kepala keluarga. Sudah menjadi ketentuan adat bahwa jumlah rumah dan kepala keluarga itu harus enam orang dengan susunan tiga rumah disebelah kiri dan tiga rumah disebelah kanan yang saling berhadapan ditambah satu masjid sebagai tempat ibadah.
Oleh sebab itu kedua deretan rumah tersebut tidak boleh ditambah ataupun dikurangi.

Jika seorang anak sudah dewasa kemudian nikah maka paling lambat dua minggu setelah pernikahan harus meninggalkan rumah tempat asalnya, keluar dari lingkungan keenam rumah adat tersebut. Dia bisa kembali keasalnya bila salah satu keluarga meninggal dunia dengan syarat harus anak wanita dan ditentukan atas pemilihan keluarga setempat.
Embah Dalem Arief Muhammad
Embah Dalem Arief Muhammad serta masyarakat setempat yang telah membendung daerah ini, sehingga terbentuk sebuah danau dengan nama Situ Cangkuang. Setelah daerah ini selesai dibendung, maka dataran yang rendah menjadi danau, dan bukit-bukit menjadi pulau-pulau. Pulau tersebut antara lain Pulau Panjang (dimana kampung pulo ada), Pulau Gede, Pulau Leutik (kecil), Pulau Wedus, Pulau Katanda, dan Pulau Masigit. Embah Dalem Arief Muhammad berasal dari Kerajaan Mataram, Jawa Timur. Ia dan pasukannya datang dengan tujuan untuk menyerang tentara VOC di Batavia dan menyebarkan agama Islam di Desa Cangkuang.

Desa Cangkuang, khususnya Kampung Pulo,  waktu itu sudah dihuni oleh penduduk yang menganut agama Hindu. Hal itu terbukti dari adanya candi Hindu yang sekarang telah dipugar. Metode dakwah yang dilakukan Arief Muhammad tidak jauh dari pola dakwah Wali Songo. Secara bijaksana Embah Dalem Arief Muhammad mengajak masyarakat setempat untuk menganut Islam.
Pedoman dakwah yang diajarkan oleh Arief Muhammad berprinsip pada ajaran Islam yang tidak mengenal kekerasan dan paksaan, melainkan dengan perdamaian dan keikhlasan hati. Ajaran-ajaran yang disampaikan dan ditulis Arief Muhammad dalam naskah-naskah tidak berbeda dengan apa yang kita dapatkan dari para ulama sekarang ini. Dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Hadits, beliau mengajarkan berbagai hal untuk menghadapi segala kehidupan membentuk pribadi umat menjadi muslim yang sejati dengan mentauhidkan Allah SWT, berakhlak baik, dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT.
Adapun hal-hal yang membuktikan adanya penyebaran Islam yang dilakukan pada permulaan abad XVII, antara lain :
1.    Naskah Khotbah Jum’at yang terbuat dari kulit kambing dengan memiliki ukuran 176 X 23 cm. Walaupun terlihat agak sedikit rusak, namun tulisan dalam naskah tersebut masih terbaca jelas.
2.    Kitab Suci Al Qur’an yang terbuat dari kulit kayu (saih) dengan memiliki ukuran 33 X 24 cm. Karena sudah dimakan usia, kondisi kitab ini terlihat sobek. Walau demikian kitab Al Qur’an ini masih bisa dibaca dengan jelas.
3.    Kitab Ilmu Fikih yang terbuat dari bahan kulit kayu (saih) dengan memiliki ukuran 26 X 18,5 cm.
4.    Makam Embah Dalem Arief Muhammad yang berada disebelah selatan Candi Cangkuang. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kerukunan hidup beragama di Nusantara sudah terbina sejak ratusan tahun yang lalu
Para penduduk Kampung Pulo berangsur-angsur menganut agama Islam, tapi sebagian kepercayaan lamanya masih mereka laksanakan. Sebagai contoh,  hari Rabu menjadi hari besar bagi mereka, dan bukan hari Jum’at.
Candi Cibuaya

Pada mulanya kedua reruntuhan bangunan purbakala itu dianggap reruntuhan benteng Belanda, namun pendapat tersebut berubah setelah ditemukan arca Wisnu di dekat situs tersebut. Lima tahun kemudian (1957) ditemukan Arca Wisnu kedua. Arca-arca tersebut saat ini disimpan di Museum Nasional di Jakarta dengan sebutan Arca Wisnu I dan Arca Wisnu II.
Pada tahun 1975, ketika Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional melakukan penggalian penelitian, ditemukan Arca Wisnu Cibuaya III. Sampai saat ini, reruntuhan kedua candi yang dinamakan Candi Lanang dan Candi Wadon tersebut masih belum dapat direkonstruksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar