Jumat, 02 Maret 2012

DEMOKRASI, DULU, KINI DAN ESOK



A. Pendahuluan
       Jika orang berbicara “demokrasi”, maka yang muncul dalam benak kita adalah sebuah sistem politik yang menekankan suara rakyat sebagai penentu kebijakan. Memang, secara asal katanya demokrasi atau “democracy”, berasal dari kata “demos” dan “kratos’, sebuah bahaya Yunani yang berari kekuasaan di tangan rakyat.
       Harus diakui memang “konsep demokrasi” sesunguhnya berasal dari dunia pemikiran politik Yunani. Dalam karya klasik Yunani yang berjudul Polis, demokrasi mengacu pada konstitusi (sistem pemerintahan) tempat rakyat yang lebih miskin lebih bisa menggunakan kekuasaan untuk membela kepentingan mereka yang acap kali berbeda dengan kepentingan kaum kaya dan kaum bangsawan (Loytard,1996:214). Dalam impelementasinya di Yunani, demokrasi dalam pengertian sistem pengambilan suara dilakukan secara langsung.
     Konsep demokrasi yang berkembang dalam alam pemikiran Yuniani itu kemudian banyak berpengaruh terhadap sistem pemerintahan di Eropa, Amerika, Afrika dan termasuk Indonesia. Demokrasi pada saat ini telah dianggap sebagai sustu sistem pemerintahan yang paling baik dibandingkan dengan sistem
pemerintahan lain, seperti otokrasi, dan oligarkhi.
       Demokrasi sesungguhnya secara konseptual lebih ditekankan pada sumber kekuasaan dibandingkan dengan cara memerintah. Di dunia Barat pada sekitar abad ke -19, ide demokrasi meliputi sistem perwakilam parlemen, hak-hak sipil dan dan politik lain seperti keinginan liberal. Indonesia pada masa itu dibawah sebuah kekuasaan asing yang di negeri induknya menerapkan demokrasi, tetapi di negeri
jajahan tidak demikian.
       Pada saat ini, Indonesia menerapkan tatanan pemerintahan yang demokratis. Hal ini terbukti adanya Pemilihan Umum setiap lima tahun sekali untuk meminta suara rakyat dalam menentukan partai politik mana yang dapat memerintah di negeri ini.
       Dalam tatanan ini, dapat dikatakan bahwa suara rakyat adalah “Suara Tuhan”, maka para calon wakil rakyat berkampanye sekuat tenaga untuk menjual program, figur, dan “image” agar mendapat dukungan rakyatnya. Harus disadari bahwa tatanan politik masyarakat menuju sebuah tatatan yang demokratis tidak muncul serta merta. Hal itu memerlukan sebuah proses dialog kesejarahan yang panjang. Pertanyaannya adalah sejak kapan tatanan demokrasi itudikenal dan diterapkan di “Indonesia”? , bagaimana perkembangannya, dan bagaimana wujudnya. Pertanyaan-pertanyaan itu akan dicoba untuk menjadi bahan
pembahasan dalam makalah ini.

B. Torehan Kolonial
       Negara Indonesia secara yuridis memang baru berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan demikian, jika berbicara demokrasi Indonesia mustinya dibicarakan sejak Indonesia merdeka tersebut. Akan tetapi dalam perspektif waktu, kehadiran Republik Indonesia sesungguhnya melalui proses yang panjang, terutama masa Kolonial. Jima demokrasi dipandang sebagai pagam yang anti otokrasi, maka
sesungguhnya demokrasi memiliki akar juga di masa Kolonial. Untuk itu sebagai kajian historis, perlu kiranya dilacak akar-akar demokrasi yang pernah diciptakan pada masa kolonial.
       Negara Kolonial (Hindia Belanda) sesungguhnya bukan sebuah negara demokrasi. Akan tetapi di negeri induknya dijalankan sistem pemerintahan demokrasi. Ide-ide demokrasi berpengaruh terhadap pemikiran para pejabat kolonial, sehingga banyak muncul pemikiran untuk mengubah tatanan pemerintahan yang
dianggapnya sebagai “feudal”.
       Percobaan demokrasi di Indonesia pada masa Kolonial dimulai dari tingkat desa. Ini sangat menarik untuk dicermati karena banyak pengamat yang mengatakan bahwa demokrasi merupakan sistem yang asli di Indonesia, terutama di tingkat desa. Pertanyaannya mengapa ujicoba demokrasi dimulai dari desa? Jan Breman (1979) mengemukakan bahwa paham yang mengatakan bahwa desa-desa di Jawa yang dikatakan sebagai desa demokratis sesungguhnya konstruksi kolonial. Desa-desa yang dikatakan “asli”, sebelum mendapat sentuhan Kolonial adalah kepanjangan tangan atau bagian dari sistem feudal yang lebih tinggi dalam tatanan masyarakat Jawa. Hal ini sesuai dengan temuan Wasino (2008) yang membuktikan bahwa di wilayah pusat kekuasaan Jawa, Surakarta tidak ada pemilihan kepala desa hingga awal kemerdekaan.      Desa-desa di wilayah tersebut merupakan desa-desa yang terlambat menerima pengaruh Kolonialisme.
       Menurut Schiecke (1929) desa-desa di Jawa bukanlah sebuah rumah tangga tertutup yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Desa-desa itu sesungguhnya bagian dari struktur dualistik dari sistem kerajaan Jawa yang mendasarkan diri pada pembagian wilayah terdiri dari lingkungan keraton dan desa. Kepala desa merupakan penghubung antara petani dengan administrasi kerajaan. Situasi ini berlangsung sejak abad ke-7 hingga abad ke -18. Kepala-kepala desa diangkat berdasarkan keturunan,
dan yang masih dianggap setia kepada administrasi kerajaan.
       Sejak abad XIX, Pemerintah Kolonial Belanda secara`resmi berkuasa atas wilayah Jawa. Sejak itu ada pemikiran bagaimana menguasai pemerintahan hingga tingkat desa agar dapat digunakan sebagai pendukung kebijakan-kebijakan Kolonial.
       Salah satu caranya adalah memangkas hubungan feodal masyarakat Jawa dengan cara memperkuat institusi desa. Daendels pada tahun 1809 mulai memperkenalkan sebuah sistem pemungutan suara pada tingkat paling bawah. Di Cirebon, yang termasuk dalam wilayah Priangan di desa-desa yang lebih besar diangkat dua orang kepala (Kuwu atau mantri dan dan prenta atau pretinggi). Sementara itu pada desa-desa
yang lebih kecil hanya diangkat seorang parenta atau lurah. Dukuh-dukuh yang kurang dari enam keluarga digabungkan ke desa terdekat dan penduduknya dipaksa pindah ke sana. Tradisi pemilihan kepala desa yang dibuat di Cirebon awal abad XIX itu berkembang di kebanyakan desa-desa yang dikuasi secara langsung oleh
       Pemerintah Kolonial Belanda, misalnya di Pati di Jawa Tengah (Husken,1998). Tradisi pemilihan kepala desa itu yang kini berlanjt dan dikenal sebagai demokrasi desa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa demokrasi yang menjadi ikon masyarakat desa pada saat ini asal-usulnya adalah sebuah konstruksi Kolonial.
Pada level nasional, awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad ke-20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting: Pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua, “migrasi” para para aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan politik, ke Hindia Belanda.
        Di wilayah yang baru ini mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera. Dapat dicatat disini para “migran politik’ tersebut antara lain; Bergsma, Baars, Sneevliet, dan beberapa yang lain. Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi (van Niel,1984).
       Pemikiran tentang demokrasi mengelora di sejumlah aktivis pergerakan. Maka terbentuklah organisasi organisasi yang berhaluan politik untuk menyuarakan suara rakyat di dalam sebuah sistem Kolonial. Suara-suara itu ada yang disalurkan melalui parlemen dan ada yang di di luar parlemen Hindia Belanda yang dikenal sebagai Volksraad atau Dewan Rakyat. Banyak anggota partai politik yang tidak bersedia duduk dalam parlemen Hindia Belanda itu, seperti para aktivis PNI, ISDV, NIP, dan sebagainya. Mereka dikenal sebagai kaum nasionalis radikal. Akan tetapi banyak juga, yang dikenal sebagai kaum nasionalis moderat yang bersedia duduk di Parlemen untuk memperjuangkan nasib rakyat Indonesia dalam lembaga demokrasi
bentukan Belanda itu (Budi Utomo, 1995).
       Saya kira perlu dikemukakan secara khusus tentang lembaga yang dinamakan Volsraad ini karena merupakan tempat berlatih demokrasi prosedural pasca Indonesia merdeka. Lemabaga ini d ibentuk sebagai dampak gerakan nasional serta perubahan yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya Perang Dunia I (1914-1918). Volksraad dibentuk pada tanggal 16 Desember 1916 (Ind. Stb. No. 114 Tahun 1917) dengan dilakukannya penambahan bab baru yaitu Bab X dalam Regeerings Reglement 1914 yang mengatur tentang pembentukan Volksraad. Pembentukan tersebut baru terlaksana pada tahun 1918 oleh Gubernur Jeneral Mr. Graaf van Limburg Stirum.
       Volksraad sebagai sebuah lembaga dalam konteks Indonesia sebagai wilayah jajahan pada saat itu memang hanya merupakan basa basi politik pemerintahan kolonial. Lewat pemilihan yang bertingkat-tingkat dan berbelit, komposisi keanggotaan Volksraad pada mulanya tidak begitu simpatik.
       Pemilihan orang untuk mengisi jabatan Volksraad diawali dengan pembentukan berbagai “Dewan Kabupaten” dan “Haminte Kota”, di mana setiap 500 orang Indonesia berhak memilih “Wali Pemilih” (Keesman). Kemudian Wali Pemilih inilah yang berhak memilih sebagian anggota Dewan Kabupaten. Kemudian setiap provinsi mempunyai “Dewan Provinsi”, yang sebagian anggotanya dipilih oleh Dewan Kabupaten dan Haminte Kota di wilayah provinsi tersebut. Sebagian besar anggota Dewan Provinsi yang umumnya dari bangsa Belanda, diangkat oleh Gubenur Jenderal.
       Susunan dan komposisi Volksraad yang pertama (1918) beranggotakan 39 orang (termasuk ketua), dengan perimbangan:

  1. 1. Dari jumlah 39 anggota Volksraad, orang Indonesia Asli melalui “Wali Pemilih”
  2.     dari “Dewan Provinsi” berjumlah 15 anggota (10 orang dipilih oleh “Wali Pemilih” dan 5 orang diangkat     oleh Gubernur Jenderal)
  3. 2. Jumlah terbesar, atau 23 orang, anggota Volksraad mewakili golongan Eropa
  4. dan golongan Timur Asing, melalui pemilihan dan pengangkatan oleh Gubernur
  5. Jenderal (9 orang dipilih dan 14 orang diangkat).
  6. 3. Adapun orang yang menjabat sebagai ketua Volksraad bukan dipilih oleh dan
  7. dari anggota Volksraad sendiri, melainkan diangkat oleh mahkota Nederland
  8. (Marbun, 1992).

       Kebanyakan anggota Volksraad berasal dari dewan-dewan Kota Praja dan keresidenan, dan sebagian lagi diangkat oleh gubernur jenderal. Ketika itu telah terpilih 10 dari 15 orang bumiputra yang dicalonkan. Sutherland menyebutkan bahwa ada empat orang bupati yang menjadi anggota dewan rakyat saat pembentukannya, yaitu: Koesoemo Oetojo, Djajadiningrat, Koesoemojoedo dan Soejono. Sutherland
(1983:178).
       Dalam perkembangannya, Volksraad mengalami peubahan jumlah anggota. Pada tahu 1927, lembaga ini terdiri dari seorang ketua yang diangkat oleh raja Belanda dengan anggota 55 orang. Ketika itu anggota dari kalangan bumiputra hanya 25 orang. Pada tahun 1930, Volksraad terdiri dari 1 orang ketua, dan 60 orang anggota. Anggota Volksraad dari kalangan bumiputra sebanyak 30 orang.
       Setelah banyak orang Indonesia yang berpengalaman dalam dewan rakyat, maka muncul beberapa usul anggota untuk mengubah susunan dan pengangkatan Volksraad ini agar dapat dijadikan tahap menuju Indonesia merdeka, namun selalu ditolak. Salah satunya adalah “Petisi Sutardjo” pada tahun 1935 yang berisi "permohonan kepada Pemerintah Belanda agar diadakan pembicaraan bersama antara Indonesia dan
Berlanda dalam suatu perundingan mengenai nasib Indonesia di masa yang akan datang", atau Gerakan Indonesia Berparlemen dari Gabungan Politik Indonesia. Petisi ini juga ditolak pemerintah kolonial Belanda.

C. Demokrasi Parlementer/ Liberal
       Setelah Hindia Belanda berada di bawah pendudukan Jepang, lembaga Volksraad
dibubarkan. Sistem pemerintahan menjadi sistem pemerintahan militer, sehingga demokrasi sama sekali mengalami kemandegan. Kondisi ini baru mengalami perubahan berarti setelah Indonesia merdeka.
       Momentum historis perkembangan demokrasi setelah kemerdekaan di tandai dengan keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru. Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multipartai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante).
       Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia dan diadakan pada tahun 1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemiluIndonesia yang paling demokratis. Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun berlangsung aman.
       Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada
saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 persen), Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen), Partai Komunis Indonesia 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89 persen). Partaipartai lainnya, mendapat kursi di bawah 10. Seperti PSII (8), Parkindo (8), Partai Katolik (6), Partai Sosialis Indonesia (5). Dua partai mendapat 4 kursi (IPKI dan Perti). Enam partai mendapat 2 kursi (PRN, Partai Buruh, GPPS, PRI, PPPRI, dan Partai Murba). Sisanya, 12 partai, mendapat 1 kursi (Baperki, PIR Wongsonegoro, PIR Hazairin, Gerina, Permai, Partai Persatuan Dayak, PPTI, AKUI, PRD, ACOMA
dan R. Soedjono Prawirosoedarso.
       Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness.Fragmentasi politik yang kuat berdampak kepada ketidakefektifan kinerja parlemen hasil pemilu 1955 dan pemerintahan yang dibentuknya. Parlemen baru ini tidak mampu memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil, tetapi justrumengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni “gonta-ganti” pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek.
       Ketidakefektifan kinerja parlemen memperkencang serangan-serangan yang mendelegitimasi parlemen dan partai-partai politik pada umumnya. Banyak kritikan dan kecaman muncul, bahkan tidak hanya dilontarkan tokoh-tokoh “anti demokrasi”.
       Hatta dan Syahrir menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan mengedepankan kepentingan rakyat. Namun begitu, mereka tidak menjadikan demokrasi parlementer sebagai biang keladi kebobrokan dan kemandegan politik. Hal ini berbeda dengan Soekarno yang menempatkan demokrasi parlementer atau
demokrasi liberal sebagai sasaran tembak. Soekarno lebih mengkritik pada sistemnya.
       Kebobrokan demokrasi liberal yang sedang diterapkan, dalam penilaian Soekarno, merupakan penyebab utama kekisruhan politik. Maka, yang paling mendesak untuk keluar dari krisis politik tersebut adalah “mengubur” demokrasi liberal yang dalam pandangannya tidak cocok untuk dipraktikkan di Indonesia. Akhirnya, Soekarno menyatakan demokrasi parlementer tidak dapat digunakan untuk revolusi,
“parliamentary democracy is not good for revolution”. Pemilu 1955 tidak dilanjutkan sesuai jadwal pada lima tahun berikutnya, 1960.
       Hal ini dikarenakan pada 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 (Wasino, 2007)

D. Demokrasi Terpimpin
       Demokrasi terpimpin selalu diasosiasikan dengan kepemimpinan Sukarno yang otoriter. Hal itu berawal dari gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui Konstituante dan rentetan peristiwa-peristiwa politik yang mencapaiklimaksnya dalam bulan Juni 1959 yang akhirnya mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Dekrit itu dikeluarkan dalam suatu acara resmi di Istana Merdeka, mengumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka sebuah sistem demokrasi yakni Demokrasi Terpimpin.
       Dekrit yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mendapatkan sambutan dari masyarakat Republik Indonesia yang pada waktu itu sangat menantikan kehidupan negara yang stabil. Namun kekuatan dekrit tersebut bukan hanya berasal dari sambutan yang hangat dari sebagian besar rakyat Indonesia, tetapi terletak dalam dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur penting negara lainnya, seperti Mahkamah Agung dan KSAD. Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9 Juli 1959, diganti dengan Kabinet Kerja. Dalam kabinet tersebut Presiden Soekarno bertindak sebagai perdana menteri, sedangkan Ir. Djuanda bertindak sebagai menteri pertama.
       Demokrasi Terpimpin sebenarnya, terlepas dari pelaksanaannya yang dianggap otoriter, dapat dianggap sebagai suatu alat untuk mengatasi perpecahan yang muncul di dataran politik Indonesia dalam pertengahan tahun 1950-an. Untuk menggantikan pertentangan antara partai-partai di parlemen, suatu sistem yang lebih
otoriter diciptakan dimana peran utama dimainkan oleh Presiden Soekarno. Ia memberlakukan kembali konstitusi presidensial tahun 1945 pada tahun 1959 dengan dukungan kuat dari angkatan darat. Akan tetapi Soekarno menyadari bahwa keterikatannya dengan tentara dapat membahayakan kedudukannya, sehingga ia mendorong kegiatan-kegiatan dari kelompok-kelompok sipil sebagai penyeimbang terhadap militer.
       Dari kelompok sipil ini yang paling utama adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan juga walau tidak begitu signifikan peranan dari golongan agama, yaitu khususnya yang diwakili oleh NU yang tergabung dalam poros nasakom soekarno semasa pemberlakuan demokrasi terpimpin. Meskipun pemimpin PKI maupun Angkatan Darat mengaku setia kepada Presiden Soekarno, mereka sendiri masing-masing terkurung dalam pertentangan yang tak terdamaikan.
       Soekarno berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan politik yang saling bersaing dari DemokrasiTerpimpin dengan jalan turut membantu mengembangkan kesadaran akan tujuan-tujuan nasional. Ia menciptakan suatu ideologi nasional yang mengharapkan seluruh warga negara memberi dukungan kesetiaan kepadanya.
       Pancasila ditekankan olehnya dan dilengkapi dengan serangkaian doktrin seperti
Manipol-Usdek dan Nasakom. Dalam usahanya mendapatkan dukungan yang luas untuk kampanye melawan Belanda di Irian Barat dan Inggris di Malaysia, ia menyatakan bahwa Indonesia berperan sebagai salah satu pimpinan “kekuatankekuatan yang sedang tumbuh” di dunia, yang bertujuan untuk menghilangkan
pengaruh Nekolim (neokolonialis, kolonialis dan imperialis). Sebagai lambang dari bangsa, Soekarno bermaksud menciptakan suatu kesadaran akan tujuan nasional yang akan mengatasi persaingan politik yang mengancam kelangsungan hidup sistem Demokrasi Terpimpin.
       Sampai dengan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945 pada bulan Juli 1959, Presiden Soekarno adalah pemegang inisiatif politik, terutama dengan tindakan dan janji-janjinya yang langsung ditujukan kepada pembentukan kembali struktur konstitusional. Akan tetapi, tekananannya kemudian mulai bergeser kepada tindakan simbolis dan ritual, serta khususnya kepada perumusan ideologi seraya melemparkan gagasan-gagasannya berulang kali. Presiden Soekarno dalam hal ini menciptakan doktrin negara yang baru. Demokrasi terpimpin dan gagasan presiden yang sehubungan dengan itu sudah menguasai komunikasi massa sejak pertengahan tahun 1958. Sejak itu tidak mungkin bagi surat kabar atau majalah berani terangterangan mengecam Demokrasi Terpimpin, lambang dan semboyan-semboyan baru.
     Pada paruh kedua 1959, Presiden Soekarno semakin mementingkan lambanglambang. Dalam hubungan ini yang terpenting ialah pidato kenegaraan presiden pada ulang tahun kemerdekaan RI tahun 1959 dan selanjutnya hasil kerja Dewan Pertimbangan Agung dalam penyusunan secara sistematis dalil-dalil yang terkandung dalam pidato tersebut. Pidato kenegaraan yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi
Kita”, sebagian besar memuat alasan-alasan yang membenarkan mengapa harus kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Sesungguhnya hanya sedikit tema-tema baru dalam pidato presiden, tetapi pidato itu penting karena berkaitan dengan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar revolusioner tersebut. Tiga bulan setelah pidato kenegaraannya itu, Presiden Soekarno menyatakan naskah pidato itu menjadi “manifesto politik Republik Indonesia”. Bersamaan dengan itu presiden mengesahkan rincian sistematikanya yang disusun oleh Dewan Pertimbangan Agung.
       Dalam pidato-pidatonya di awal tahun 1959, presiden selalu mengungkapkan bahwa revolusi Indonesia memiliki lima gagasan penting. Pertama, Undang-Undang Dasar 1945; kedua, sosialisme ala Indonesia; Ketiga, Demokrasi Terpimpin; keempat, Ekonomi Terpimpin; dan yang terakhir kelima, kepribadian Indonesia. Dengan mengambil huruf pertama masing-masing gagasan itu maka muncullah singkatan
USDEK. “Manifesto politik Republik Indonesia” disingkat “Manipol”, dan ajaran baru itu dikenal dengan nama “Manipol-USDEK”. Manipol-USDEK benar-benar memiliki daya pikat bagi banyak masyarakat
politik. Masyarakat politik ini, yang didominasi pegawai negeri, sudah lama mendukung apa yang selalu ditekankan presiden mengenai kegotong-royongan, menempatkan kepentingan nasional diatas kepentringan golongan dan kemungkinan mencapai mufakat melalui musyawarah yang dilakukan dengan penuh kesabaran. Ada dua sebab mengenai hal ini pertama, keselarasan dan kesetiakawanan merupakan nilai yang dijunjung masyarakat-masyarakat Indonesia. Dan kedua, bangsa Indonesia benar-benar menyadari betapa berat kehidupan yang mereka rasakan akibat keterpecahbelahan mereka dalam tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, banyak yang tertarik kepada gagasan bahwa apa yang diperlukan Indonesia dewasa ini adalah
orang-orang yang berpikiran benar, berjiwa benar dan patriot sejati. Bagi anggota beberapa komunitas Indonesia, terutama bagi orang-orang Jawa, mereka menemukan makna yang sesungguhnya dalam berbagai skema rumit yang disampaikan presiden itu ketika mengupas cara pandang secara panjang lebar Manipol-USDEK, yang menjelaskan arti dan tugas-tugas khusus tahapan sejarah sekarang ini.
       Barangkali daya tarik terpenting Manipol-USDEK terletak pada kenyataan bahwa ideologi ini menyajikan sebuah arah baru. Mereka tidak begitu banyak tertarik pada makna dasar dari arah tersebut. Yang pokok ialah bahwa presiden menawarkan sesuatu pada saat terjadi ketidakjelasan arah yang dituju. Nilai-nilai dan pola-pola kognitif berubah terus dan saling berbenturan, sehingga timbul keinginan yang kuat
untuk mencari perumusan yang dogmatis dan skematis mengenai apa yang baik dalam politik. Satu tanggapan umum terhadap Manipol-USDEK ialah bahwa Manipol- USDEK bukanlah merupakan ideologi yang sangat baik atau lengkap tetapi pada akhir tahun 1950an dibutuhkan sebuah ideologi dalam kerangka pembangunan Indonesia.
       Sebenarnya hanya di sebagian masyarakat politik saja Manipol-USDEK diterima sepenuh hati, sedangkan di sebagian yang lain menaruh kecurigaan dan kekhawatiran. Manipol-USDEK itu sendiri tidaklah begitu jelas. Selain itu, bukan pula suatu upaya unutk menyelaraskan semua pola penting dari orientasi politik yang ada di Indonesia.
       Ideologi negara apapun belum mampu menjembatani perbedaan perbedaan besar orientasi politik kutub aristokratis Jawa dan kutub kewiraswastaan Islam. Pada pelaksanaannya, Manipol-USDEK tidak mampu mengatasi permasalahan tersebut. Jadi, banyak kalangan Islam yang kuat keyakinannya, khususnya dari suku bukan Jawa, melihat rumusan baru itu sebagai pemikiran yang asing. Karena itulah maka pelaksanaan manipol Usdek dapat disimpulkan dilakukan dengan paksaan.
       Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya menilai Demokrasi Barat yang bersifat liberal tidak dapat menciptakan kestabilan politik.5 Menurut Soekarno, penerapan sistim Demokrasi Barat menyebabkan tidak terbentuknya pemerintahan kuat yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia.    Pandangan Soekarno terhadap sistem liberal ini pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan partai politik di Indonesia. Partai politik dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan dalam membangun Indonesia. Partai-partai yang ada pada waktu itu berjumlah sebanyak 40 partai dan ditekan oleh Soekarno untuk dibubarkan. Namun demikian, Demokrasi Terpimpin masih menyisakan sejumlah partai untuk berkembang. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan Soekarno akan keseimbangan
kekuatan yang labil dengan kalangan militer. Beberapa partai dapat dimanfaatkan oleh Soekarno untuk dijadikan sebagai penyeimbang.
       Pada masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata. Sementara itu partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan suatu ikatan kerjasama yang didominasi oleh sebuah ideologi. Dengan demikian partai-partai itu tidak dapat lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang diwakilinya. Partai politik tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin. Partai politik seperti NU dan PNI dapat dikatakan pergerakannya dilumpuhkan karena ditekan oleh presiden yang menuntut agar mereka menyokong apa yang telah dilakukan olehnya. Sebaliknya, golongan komunis memainkan peranan penting dan temperamen yang tinggi. Pada dasarnya sepuluh partai politik yang ada tetap diperkenankan untuk hidup, termasuk NU dan PNI, tetapi semua wajib menyatakan dukungan terhadap gagasan presiden pada segala kesempatan serta mengemukakan ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk yang sesuai dengan doktrin presiden.
       Partai politik dalam pergerakannya tidak boleh bertolak belakang dengan konsepsi Soekarno. Penetapan Presiden (Penpres) adalah senjata Soekarno yang paling ampuh untuk melumpuhkan apa saja yang dinilainya menghalangi jalannya revolusi yang hendak dibawakannya. Demokrasi terpimpin yang dianggapnya mengandung nilai-nilai asli Indonesia dan lebih baik dibandingkan dengan sistim ala Barat, ternyata dalam pelaksanaannya lebih mengarah kepada praktek pemerintahan yang otoriter. Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955 yang didalamnya terdiri dari partai-partai pemenang pemilihan umum, dibubarkan.
       Beberapa partai yang dianggap terlibat dalam pemberontakan sepanjang tahun 1950an, seperti Masyumi dan PSI, juga dibubarkan dengan paksa. Bahkan pada tahun 1961 semua partai politik, kecuali 9 partai yang dianggap dapat menyokong atau dapat dikendalikan, dibubarkan pula. Dalam penggambaran kiprah partai politik di percaturan politik nasional, maka ada satu partai yang pergerakan serta peranannya begitu dominan yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa itu kekuasaan memang berpusat pada tiga
kekuatan yaitu, Soekarno, TNI-Angkatan Darat, dan PKI. Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran mengenai kehidupan partai politik pada masa demokrasi terpimpin, pergerakan PKI pada masa ini tidak dapat dilepaskan. PKI di bawah pemimpin mudanya, antara lain Aidit dan Nyoto, menghimpun
massa dengan intensif dan segala cara, baik secara etis maupun tidak. Pergerakan PKI yang sedemikian progresifnya dalam pengumpulan massa membuat PKI menjadi sebuah partai besar pada akhir periode Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1965, telah memiliki tiga juta orang anggota ditambah 17 juta pengikut yang menjadi antek-antek organisasi pendukungnya, sehingga di negara non-komunis, PKI merupakan partai terbesar.
       Hubungan antara PKI dan Soekarno sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin dapat dikatakan merupakan hubungan timbal balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno untuk mendapatkan massa. Pada bulan Mei 1963, MPRS mengangkatnya menjadi presiden seumur hidup. Keputusan ini mendapat dukungan dari PKI.
       Sementara itu di unsur kekuatan lainnya dalam Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat perkembangan yang terjadi antara PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada saat angkatan lain, seperti TNI-Angkatan Udara, mendapatkan dukungan dari Soekarno. Hal ini dianggap sebagai sebuah upaya untuk menyaingi kekuatan TNI-Angkatan Darat dan memecah belah militer untuk dapat ditunggangi.
Keretakan hubungan antara Soekarno dengan pemimpin militer pada akhirnya muncul. Keadaan ini dimanfaatkan PKI untuk mencapai tujuan politiknya. Sikap militan yang radikal yang ditunjukkan PKI melalui agitasi dan tekanan-tekanan politiknya yang semakin meningkat, membuat jurang permusuhan yang terjadi semakin melebar. Konflik yang terjadi itu kemudian mencapai puncaknya pada
pertengahan bulan September tahun 1965 (Wasino, 2007; lihat pula Ricklefs, 2005:
508-557).

E. Demokrasi Pancasila ala Orde Baru
       Orde Baru identik dengan Pemerintahan Suharto. Hal itu dapat dipahami karena selama 32 tahun Suharto memimpin pemerintahan, tidak ada presiden lain selain dirinya. Oleh karena sebagai penguasa tunggal yang tak pernah tergantikan, maka masa ini sering disebut sebagai rezim Suharto.
       Pemerintahan Orde Baru tak terlepas dari peristiwa berdarah tahun 1965, G-30 S. Peristiwa ini memiliki dampak yang luar biasa dalam dalam kehidupan politik dan sosial di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun tingka daerah. Secara politik telah lahir peta kekuatan politik baru dari kekuasaan politik yang heterogen, baik dari partai politik, Sukarno, maupun militer beralih ke satu golongan sosial, yaitu tentara, terutama angkatan darat, terutama dari faksi Suharto (Kostrad) yang selama itu kurang
mendapatkan tempat terhormat di mata presiden Sukarno.
       Setelah Suharto berhasil memperoleh legitimasi berupa Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), maka ruang gerak tentara dalam bidang pertahanan keamanan dan kancah politik nasional semakin kuat. PKI dijadikan kambing hitam satu-satunya sebagai dalang Kudeta G-30 Sepetember, meskipun dalam banyak penyelidikan banyak aktor yang ikut bermain di dalamnya. PKI segera mendapatkan kecaman dari
seluruh negeri, dan tentara memperoleh dukungan dari kalangan santri untuk balas dendam terhadap keekjaman PKI di masa lampau dalam menentang para kyai di pedesaan. Komandan-komandan tentara di daerah melarang kegiatan PKI dan menangkap para pemimpinnya sampai ke tingkat desa. Pada bulan Desember 1966 sesungguhnya PKI telah dihancurkan sebagai kekuatan politik di Indonesia.
       Dampak politik berimbas pada dampak social. Dalam proses penangkapan tehadap para tokoh PKI tidak selalu didasarkan pada tindakan-tindakan yang cermat sehingga banyak orang yang tidak berdosa harus menjad korban penangkapan an pembunuhan baik oleh angkatan bersenjata maupun masyarakat sipil uyang sebelumnyatelah terlibat dendam dan konflik. Robert Cribb (1991) mencatat bahwa pada waktu itu telah dibunuh penduduk Indonesia, terutama di pedesaan Jawa yang pada tahun-tahun sebelumnya telah terlibat konflik social, sekitar 250.000 orang.
      Mereka dibunuh tanpa melalui proses peradilan, dan tidak jarang hanya didasarkan main tunjuk oleh penduduk desa lainnya yang karena alasan idak senang memasukkannya ke dalam anggota PKI. Sebagian besar yang menjadi sasaran pembunuhan adalah laki-laki, dan telah berkeluaga. Akibatnya banyak wanita yang harus kehilangan suami, anak-anak kehilangan ayah, dan orang tua kehilangan anaknya karena mengalami proses penculikan yang dilakukan oleh sebuah kekuatan baru yang dimotor oleh angkatan darat.
       Sukarno yang sebelumnya menjadi penentu perpolitikan Indonesia hampir tidak berdaya untuk menunjukkan kekuasaannya akibat ekonomi yang hancur dengan inflasi yang terus membubung tinggi dan tak terkendali. Sukano juga sudah tidak dapat menggerakkan pendukungnya, terutama dari kalangan nasionalis dan sayap kiri. Kekuatan Sukarno mendapat tandingan baru dari para jenderal angkatan darat yang didukung oleh kaum Islam militan dan sebagian nasioanlis yang tunduk kepada rezim militer.
       Dengan memegang Supersemar, Suharto berasumsi bahwa ia secara perlahanlahan akan memiliki kekuasaan eksekutif yang penuh. Sehubungan ddengan hal itu, maka nama rezimnya (Orde Baru) didasarkan pada peistiwa Supersemar tersebut. Setelah dua tahun memegang Supersemar, dengan hati-hati Suharto berhasil menyingkirkan Sukarno beserta para pendukung politiknya. Untuk memperkuat legitimasinya, Suharto kemudian mempercayakan pada proses formal dengan menyerahkan pada sidang istimewa MPR. Sidang umum MPR yang tidak jelas para anggota sidangnya telah melahirkan tatanan baru yang kemudian disebut oleh penganutnya sebagai Orde Baru.
       Konsepsi demokrasi Soeharto, rencana praksis politiknya, awalnya tidak cukup jelas. Ia lebih sering mengemukakan gagasan demokrasinya, yang kemudian disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila, dalam konsep yang sangat abstrak. Pada dasarnya, konsep dasar Demokrasi Pancasila memiliki titik berangkat yang sama dengan konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno, yakni suatu demokrasi asli Indonesia. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sesuai dengan tradisi dan filsafat hidup masyarakat Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang sehat dan bertanggungjawab, berdasarkan moral dan pemikiran sehat, berlandaskan pada suatu ideologi tunggal, yaitu Pancasila.
       Langkah politik awal yang dilakukan Soeharto untuk membuktikan bahwa dirinya tidak anti demokrasi adalah dengan merespons penjadwalan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), sebagaimana dituntut oleh partai-partai politik. Soeharto sendiri pada hakekatnya tidak menghendaki pemilu dengan segera, sampai dengan terkonsolidasikannya “kekuatan Orde Baru”. Sebagai upaya lanjut mengatasi “peruncingan ideologi” Soeharto melakukan inisiatif penggabungan partai politik pada 1973, dari 10 partai menjadi 3 partai politik (Partai Persatuan Pembangunan, Golkar, Partai Demokrasi Indonesia). Golkar sendiri yang notabene, dibentuk dan dikendalikan oleh penguasa tidak bersedia menyatakan diri sebagai parpol melainkan organisasi kekaryaan. Fusi atau penggabungan partai ini merupakan wujud kekesalan Soeharto terhadap parpol dan hasratnya untuk membangun kepolitikan “kekeluargaan”. Menjaga citra sebagai “negara demokrasi” terus dijaga oleh rezim Orde Baru.
       Terhadap tuntutan demokrasi yang berkembang kuat sejak pertengahan 1980-an, sebuah momen perkembangan yang oleh Huntington dinamakan “gelombang demokrasi ketiga” Soeharto menjawab dengan kebijakan “mulur mungkret” liberalisasi politik terbatas, yang oleh para pengkritik disebut sebagai demokrasi seolah-olah (democracy as if), tetapi sekaligus mempertahankan instrumen represif terhadap kelompok yang mencoba-coba keluar dari “aturan main” yang ditentukan rezim.
       Praktik demkrasi diktatorship yang diterapkan Soeharto mulai tergerus dan jatuh dalam krisis bersamaan dengan runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru sebagai akibat terjadinya krisis moneter mulai 1997. Krisis moneter yang semakin parahmenjadikan porak porandanya ekonomi nasional yang ditandai dengan runtuhnya nilai mata uang rupiah, inflasi, tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), dan semakin besarnya pengangguran. Krisis ekonomi memacu berlangsungya aksi-aksi protes dikalangan mahasiswa menuntut Soeharto mundur (Hill (ed), 1994; Wikipédia).

F. Demokrasi Pasca Orde Baru
       Berakhirnya Orde Baru melahirkan kembali fragmentasi ideologi dalam masyarakat. Berbagai kelompok dengan latar belakang ideologi yang beranekaragam, mulai dari muslim radikal, sosialis, nasionalis, muncul dan bersaing untuk mendapatkan pengaruh politik. Sebelum pemilu multi partai 1999 diselenggarakan, berlangsung pertikaian di kalangan pro demokrasi soal bagaimana transisi demokrasi harus berjalan dan soal memposisikan elite-elite lama dalam proses transisi.
       Beberapa kemajuan penting dalam arsitektur demokrasi yang dilakukan pemerintahan Habibie antara lain; adanya kebebasan pers, pembebasan para tahanan politik (tapol), kebebasan bagi pendirian partai-partai politik, kebijakan desentralisasi(otonomi daerah), amandemen konstitusi antara lain berupa pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode, pencabutan beberapa UU politik yang represif dan tidak demokratis, dan netralitas birokrasi dan militer dari politik praktis.
       Kesuksesan dalam melangsungkan demokrasi prosedural ini merupakan prestasi yang mendapatkan pengakuan internasional, tetapi di lain pihak, transisi juga ditandai dengan meluasnya konflik kesukuan, agama, dan rasial yang terjadi di beberapa wilayah di tanah air sejak 1998. Misalnya di Ambon, Poso, Sambas dan lainnya.
       Pemerintahan baru hasil pemilu 1999 yang memunculkan pasangan Abdurrahman Wahid-Megawati jauh dari performance yang optimal. Wahid pada akhirnya dipaksa lengser setelah kurang dari dua tahun berkuasa. Lengsernya Wahid yang terpilih dengan legitimasi demokratis dan dikenal luas sebagai pendukung
militan demokrasi, menjadi sebuah tragedi transisi demokrasi.
       Praktik berdemokrasi di Indonesia masa transisi mendapatkan pengakuan luas dari dunia internasional. Dalam indeks yang disusun oleh Freedom House tentang hak politik dan kebebasan sipil Indonesia sejak pemilu 1999 hingga masa konsolidasi demokrasi saat ini berhasil masuk dalam kategori “negara bebas”. Hal ini berbeda dengan kepolitikan masa Orde Baru yang dikategorikan sebagai dengan kebebasan
yang sangat minimal (partly free).
       Pada tahun 2004 diselenggarakan Pemilu kedua sebagai produk reformasi. Dalam pemilu itu dipilih anggota DPR/DPRD. Selain itu juga dilakukan pemilihan Presiden Secara langsung. Momentum pemilihan demikian memungkinkan rakyat menentukan hak pilihnya tanpa tekanan dari pihak manapun. Ketika itu berhasil dipilih presiden dan wakil presiden secara langsung dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudoyono sebagai presiden dan Yusuf Kala sebagai wakil presiden. Pada tahun 2009 ini akan dilaksanakan Pemilihan Umum lagi. Pemilihan pertama akan dilakukan tanggal 9 April 2009 untuk memilih DPR/DPRD dan DPD.
Setelah itu baru dilakukan pemilihan presiden secara langsung. Siapapun yang terpilih oleh rakyat itulah yang berhak atas kekuasaan di negeri ini, sebab hakekat demokrasi adalah menempatkan rakyat sebagai sumber kekuasaan mutlak.

G. Simpulan
       Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, sejak Kemerdekaan Indonesia, Bangsa Indonesia telah melakukan ujicoba demokrasi. Ujicoba demokrasi dapat terjadi karena banyak faktor, salah satu faktor terpenting adalah pemahaman para elite tentang konsepsi demokrasi. Ada yang beranggapan bahwa demokrasi harus dijalankan menurut model parlementer, ada yang berpandangan menurut model presidensiil. Kedua konsepsi itu saling tarik-menarik yang hingga kini masih mencari bentuknya. Pemahaman demokrasi dan praktek demokrasi juga diwarnai tarik-menarik antara budaya kepemimpinan lokal dengan budaya kepemimpinan trans nasional.
       Budaya-budaya lokal yang telah memiliki akar kepemimpinan dan tata pemerintahan turut menentukan cara pandang pemimpin untuk aplikasi demokrasi. Demikian pula pengetahuan-pengetahuan demokrasi antar negara yang dimiliki oleh sejumlah pemimpin juga turut menentukan implementasi demokrasi di Indonesia. Itulah sebabnya ada istilah demokasi parlementer yang liberal, demokrasi terpimpin yang katanya ala Indonesia, dan demokrasi Pancasila ala Orba yang katanya sesuai roh Pancasila dan UUD 1945.
       Sesungguhnya para elite harus kembali ke konsep awal. Apa pun pilihannya, yang terpenting harus menempatkan suara rakyat, kepentingan rakyat di atas segalagalanya. Sehingga dalam mengelola negara perhatian terhadap rakyat menjadi yang utama. Jika sudah terpilih wakil rakyat dan presiden problem yang jauh lebih penting apakah mereka mampu mengemban amanat rakyat. Janji-janji kampanye apakah
dapat direalisasikan. Jika tidak, maka di masa selanjutnya rakyat dapat mengalihkan suaranya kepada yang lain.


Daftra Pustaka
Budi Utomo, Cahyo, 1999, Dinamika Pergerakan Nasional, Semarang: IKIP
Semarang Press.
Breman, Jan, 1979, “Desa Jawa dan Negara Kolonial”, Cakrawala, no. 11, th XI,
Salatiga: LPIS, UKSW.
Hill, Hall, 1994, Indonesia’s New Order: The Dynamic of Socio-economic
Transformation, Honolulu: University of hawaii Press.
Husken, Frans, 1988, Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman, Jakarta: Grasindo.
Loytard, 1996, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Marbun B.N., DPR RI; Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta: 1992.
Ricklefs, 2005, Sejarah Indonesia Modern, Jakarta: Serambi.
Sutherland, Heather, 1983, Terbentuknya sebuah Elite Birokrasi, Jakarta: Sinar
Harapan.
Wasino, 2008, Kapitalisme Bumiputra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran,
Yogyakarta: LkiS.
______, 2007, Bahan Ajar Sejarah Kebangsaan, Semarang: AKPOL.
Van Niel, Robert, Munculnya Elit Modern di Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya.

LAHIRNYA DEMOKRASI TERPIMPIN




PENDAHULUAN
       Manusia manjadi pemangsa bagi manusia yang lain, sepsrti itu ditulis Thomas Hobbes dalam bukunya yang diberinya judul “leviathan”. Begitulah nasib yang di alami bangsa kita Indonesia. Mana kala segala kekejian seberat bumi dan langit di timpakan penjajah pada punggung Ibu pertiwi dan pendahulu-pendahulu kita.
       Sejarah panjang perjuangan dan melelahkan pada akhirnya membuahkan kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945 dengan keputusan rakyat Indonesia sendiri setelah kemerdekaan yang dijanjikan jepang tak kunjung datang. Sejarahpun berlanjut, tiga sistem politik yang berbeda, masing masing mengatasnamakan “Demokrasi” telah di coba di tegakkan selama lebih kurang setengah abad terakhir.
       Segera setelah Indonesia merdeka, Indonesia mencoba sistem Demokrasi parlementer yang di kemudian hari dianggap terlalu “Liberal”, kemudian menjelang dekade 1950 an dicoba pula sistem politik dengan nama demokrasi terpimpin, yang ternyata bukan saja tidak Demokratis, melainkan dinilai cendrung mengarah kepada sistem Otoriterianisme, pada kurun waktu terpanjang sesudah itu di Indonesia diberlakukan “Demokrasi pancasila” di bawah orde Baru, yang berakhir pada tahun 1998,dan yang melahirkan Revormasi.
Dalam makalah ini kami akan mencoba membahas tentang “Demokrasi Terpimpin di Indonesia” dan mudah-mudahan tidak lari jauh dari konteks sejarahnya. Dan dalam metode penulisan makalah ini penulis berusaha bersikap netral.

PEMBAHASAN
A. Latar Belakang sejarah diberlakukannya Demokrasi Terpimpin.
       Di awali dari maklumat Hatta sebagai wakil presiden waktu itu, di mana dalam maklumat tersebut menganjurkan perlunya pembentukan partai-partai, yang ternyata mendapat sambutan luas hingga pada waktu itu lebih kurang 40 partai telah lahir di Indonesia, tetapi pada kenyataannya dalam kondisi yang sedemikian, bukannya menambah suburnya sistem Demokrasi di Indonesia.
        Buktinya kabinet-kabinet yang ada pada waktu itu tidak pernah bertahan sampai 2 tahun penuh dan terjadi perombakan-perombakan dengan kabinet yang baru, dan bahkan menurut penilayan presiden Soekarno banyaknya partai hanya memperunyam masalah dan hanya menjadi penyebab gotok- gotokan, penyebab perpecahan bahkan dalam nada pidatonya dia menilai partai itu adalah semacam pertunjukan adu kambing yang tidak bakalan berpengaruh baik bagi Bangsa dan negara.
       Menurut pengamatan Soekarno Demokrasi Liberal tidak semakin mendorong Indonesia mendekati tujuan revolusi yang dicita-citakan, yakni berupa masrakat adil dan makmur, sehingga pada gilirannya pembangunan ekonomi sulit untuk di majukan, karena setiap fihak baik pegawai negeri dan parpol juga militer saling berebut keuntungan dengan mengorban kan yang lain.
       Keinginan presiden Soekarno untuk mengubur partai-partai yang ada pada waktu itu tidak jadi dilakukan, namun pembatasan terhadap partai di berlakukan, dengan membiarkan partai politik sebanyak 10 partai tetap bertahan. Yang akhirnya menambah besarnya gejolak baik dari internal partai yang di bubarkan maupun para tokoh-tokoh yang memperjuangkan “Demokrasi liberal” juga daerah-daerah tidak ketinggalan. Dan keadaan yang demikian, akhirnya meaksa Soekarno untuk menerapkan “Demokrasi terpimpin” dengan dukungan militer untuk mengambil alih kekuasaan.

B. Demokrasi Terpimpin
       Dalam suasana yang mengancam keutuhan teritorial sebagaimana kata Feith, dan ancaman perpecahan sebagai mana kata Soepomo, itulah muncul gagasan “Demokrasi Terpimpin” yang di lontarkan Presiden Soekarno pada bulan februari 1957. mula mula pandangan ini dicetuskan oleh partai Murba, serta Chaerul saleh dan Ahmadi.
       Namun gagasan tanpa perbuatan tidak terlalu berarti dibanding gagasan dan perbuatan langsung dalam usaha mewujudkan gagasan itu dan inilah yang di lakukan soekarno . Konsep Demokrasi terpimpin yang hendak membawa PKI masuk kedalam kabinet ini juga menyebut-nyebut akan di bentuknya lembaga negara baru yang ekstra konstitusional yaitu ( Dewan Nasional), yang akan di ketuai oleh soekarno sendiri yang bertugas memberi nasehat kepada kabinet maka untuk itu harus di bentuk kabinet baru yang melibatkan semua partai termasuk PKI serta di bentuk Dewan penasehat tertinggi dengan nama “Dewan Nasional” yang beranggotakan wakil-wakil seluruh golongan fungsional.
       Menurut Yusril Ihza mahendra, sebelum “Dewan Nasional” ini dibentuk gagasan awal tentang namanya adalah “Dewan Revolusi” (DR), namun akhirnya dinamai dengan “Dewan nasional” (DN). Dewan ini diketuai oleh presiden, namun dalam prakteknya sehari-hari diserahkan kepada Roeslan abdul gani, walaupun Dewan Nasional ini tidak ada dasarnya dalam konstitusi.-,, Artinya “Dewan Nasional ini tidak sejalan dengan konstitusi yang ada pada waktu itu.  Dan peranannya memang cukup menentukan yaitu sebagai “penasihat” pemerintah yang dalam praktiknya telah menjadi semacam DPR bayangan di samping DPR hasil pemilu 1955. dan adapun Dewan Nasional yang di sebutkan diatas adalah hasil bentukan kabinet juanda yang segera terbentuk setelah sebelumnya kabinet Ali sastro amidjoyo tidak mampu bertahan lagi.
       Setelah dekrit presiden 5 juli 1959 kabinet Juanda menyerahkan mandatnya kepada presiden melalui pemberlakuan kembali proklamasi dan UUD 1945, presiden Soekarno langsung memimpin pemerintahan bahkan bukan saja kepala negara tetapi juga kepala pemeritahan yang membentuk kabinet yang mentri-mentrinya tidak terikat kepada partai. Dan pada waktu-waktu inilah Dewan Nasional itu mulai di gagas.
       Pembentukan Dewan Nasional ini, berdasarkan atas (SOB) atau amanat keadaan darurat dan bahaya perang yang di umumkan oleh presiden soekarno sebelum terbentuknya kabinet Juanda itu, mengingat Indonesia di hari-hari itu memang dalam keadaan genting dan potensi kionflik yang lebih besar segera mengancam keutuhan NKRI. Salah satunya dengan terjadinya gejolak ingin memisahkan diri beberapa Daerah dari NKRI.
       Dalam kurun waktu yang kian genting pada kenyataan sejarah waktu-waktu itu, dan dengan terbentyknya PRRI di Padang di tambah dengan pulangnya pimpinan-pimpinan Masyumi dari jakarta menuju padang, karena waktu itu di jakarta mereka merasa kurang aman dari fihak-fihak yang kontra dengan mereka serta sekaligus berencana memantapkan pemerintahan revolusioner yang mereka cita-citakan dengan mengangkat “Syafruddin parawiranegara” sebagai mentrinya,(beliau juga pernah menjadi pemangku jabatan Pemimpin pemerintahan darurat Republik indonesia (PDRI) bi bukit tinggi, beliau sebenarnya putera kelahiran Banten tapi ayahnya berasal dari Sumatera Barat)Pen. Dan PRRI ini segera mendapat sambutan hangat di indonesia bagian timur, aceh, dan Indonesia tengah yang telah terlebih dahulu mengusahakan perjuangan melalui DI/TII yang terkenal itu. Walaupun pada akhirnya usaha ingin memisahkan diri, yang di upayakan berbagai daerah ini berhasil ditumpas.
       Sementara kegentingan demi kegentingan yang terjadi, sukarno sebagai seorang organisator dan sekaligus pengagum persatuan dan kesatuan, tidak tinggal diam dan tidak kehabisan akal.
       Soekarno melakukan upaya dengan menggandeng 2 kekuatan besar dan yang paling bagus organisasinya dan paling potensial di indonesia pada waktu itu, yaitu PKI dan AD atau militer. Walaupun pada kenyataannya kedua kekuatan ini selalu prodan kontra antara satu sama lain, namun bisajinak ditangan seorang politikus kaliber soekarno.
      Mula-mula 2 kekuatan ini di manfaatkannya pada isu imperialisme dan kapitalisme yang masih mengancam Indonesia, berhubung pada waktu itu Irian Barat masih dikuasai oleh penjajah dan isu ini di pakai soekarno untuk mengamanatkan agar Irian barat selekas-lekasnya dapat di bebaskan serta upaya untuk mengembalikan indonesia dalam posisi pemerintahan secara utuh.
       Dalam teorinya dapat kita baca bahwa: soekarno, membutuhkan PKI kasrena merasa terancam akan Kudeta yang di lakukan Militer padawaktu itu atau AD pada khususnya sebagai kekuatan potensial yang sewaktu-waktu dapat merong-rong Soekarno dari tampuk pimpinan. Dan di samping itu menurut Afan ghafar soekarno memiliki agenda sendiri.
       Dalam hubungannya dengan PNI, yang merupakan partai binaannya sejak awal, untuk sementara waktu soekarno keluar dari PNIdahulu, Karaena beliau tahu pasti kalau pengikut PNI sesungguhnya sudah ditangannya. Dan dia merangkul kekuatan PKI sebagai kekuatan yang menentukan massanya di Indonesia pada waktu itu, ketika soekarno telah mendapatkan PKI sebagai kekuatan besar, maka otomatis kekuatan yang lain dari PNI partainya yang disebutkan diatas menggabungkan diri dengan PKI walaupun ada juga yang tidak bergabung. Namun pada akhirnya gabungan kedua partai tersebut terbentuk menjadi masa yang besar dan siap untuk di mobilisasi.
      Sedangkan apabila kita lanjutkan analisisnya, antara PKI dan AD yang sering berbeda pendapat sewaktu-waktu dapat di adu kekuatannya dan soekarno jadi wasitnya.
Sementara itu menurut keterangan yusril Ihza Mahendra, sejalan dengan gagasan “Demokrasi Terpimpin” Kalangan tentara di bawah pimpinan Mayjend Abdul Haris Nasution, aktif berkampanye tentang perlunya kembali ke undang-undang 1945.
       Nilai-nilai dan semangat demiukian menurut A.H. Nasution akan tetap terpelihara jika negara kembali kepada UUD dan dan proklamasi, yakni UUD 1945. ide soekarno ini tampaknya bertemu dengan Ide soekarno dalam rangka menerapkan demokrasi Terpimpin. Sebab menurut Yusril, demokrasi semacam itu memang menghendaki adanya pemusatan kekuasaan di tangan presiden, sementara UUD 1945 memungkinkan perwujudan hal itu, (maksudnya sebelum di amandemen karena buku yang penulis kutip dari buku karangan 1996.) sebaliknya, jika menunggu konstituante menyelesaikan tugasnya memnyusun Undang-Undang yang baru belum tentu isinya sama dengan gagasan demokrasi terpimpin tadi. Dan gabungan ide Soekarno dan A.H. Nasution ini disampaikan kesidang Dewan Nasional dan dewan berpendapat bahwa gagasan Demokrasi terpimpin dapat terlaksana jika dikembalikan kepada UUD 1945. kemudian di bawa kerapat kabinet dan didalam rapat itu juga disetujui tentang Gagasan Demokrasi Terpimpin tersebut.
       Dalam sidang kabinet tesebut di hadiri oleh Idcham Chalid seorang tokoh NU, beliau tidak memberikan komentar apa-apa terhadap usulan Dewan Nasional sehingga perdana mentri Juanda padawaktu itu mengira bahwa NU setuju dengan gagasan itu.
       Keputusan Dewan Mentri tersebut disampaikan perdana mentri Juanda, kepada sidang paripurna DPR, yang berjudul “ Putusan Dewan Mentri mengenai pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945”.
       Dalam keterangan itu PM. Juanda mengatakan sbb: untuk mendekati hasrat golongan Islam, berhubung dengan penyelesayan dan pemeliharaan keamanan, di akui adanya piagam Jakarta tertanggal 22 juni 1945 sebagai dokumen historis. Dengan kembali ke UUD 1945, tambahnya , pelaksanaan Demokrasi Terpimpin akan lebih terjamin, disamping akan mampu mengembalikan seluruh ptensi nasional” termasuk golongan Islam”. Guna” di putuskan kepada penyelesayan keamanan dan pembangunan di seluruh bidang.”

C. Demokrasi Terpimpin Ditinjau dari Demokrasi Moderen.
       Dalam Priode Demokrasi terpimpin pemikiran Demokrasi ala Barat banyak di tingalkan bahkan lebih nampak gambarannya manakala Demokrasi parlementer sebelumnya berkuasa di indonesia karena mengacu pada latar belakang pendidikan penggagasnya, yaitu yang pernah sekolah di luar negeri seperti Drs. M.Hatta dan Syahrir,walaupun gagasannya tidak 100% persis barat karena di sana sini berhubungan juga dengan islam,Nasionalis dan Lokal.
       Soekarno sebagai pemimpin tertinggi pada era Demokrasi terpimpin menyatakan bahwa Demokrasi liberal tidak sesuai dengan kepribadian BI, prosedur pemungutan suara, dalam lembaga perwakilan rakyat dinyatakan sebagai tidak efektif dan kemudian Soekarno memperkenalkan dengan apa yang di sebut dengan”Musyawarah untuk mufakat”.
       Banyaknya partai politik oleh bung karno adalah penyebab tidak adanya pencapayan hasil dan sulit dicapai kataq sepakat karena terlalubanyak berdebat atau bersitegang urat leher.
Dari kacamata demokrasi moderen Kita menyaksikan semuanya di rubah,semua berubah,dan semua kelihatan berganti dan semua diganti tapi sesungguhnya tidak ada yang berganti dan berubah, yang pada hari ini semua serba mudah dan terkesan di mudahkan dan hampir kebablasan.
       Memang Demokrasi Terpimpin agak terasa asing Namun apa yang terjadi dimasalalu karena kehendak waktu dan peristiwa menginginkan demikian pada hari-hari itu, Dimana ketika kita dihadapkan kepada dua pilihan yakni: apakah kita mau di gembleng untuk sementara waktu demi sejarah yang mengoyak ngoyak bangsa selama-beberapa lamanya, ataukah kita siap bercerai berai dari kesatuan Negara Republik Indonesia yang artinya kita semakin lemah?.

D.Konsep Nasakom Dalam Demokrasi Terpimpin.
       Bung Karno sampai dengan akhir hayatnya tetap bertahan terhadap ide Nasakom yang mengatakan bahwa kekuatan politik di Indonesia pada saat itu terdiri dari tiga golongan ideologi besar yaitu: golongan yang berideologi nasionalis, golongan yang berideologi dengan latar belakang agama, dan golongan yang berideologi komunis. Tiga-tiganya merupakan kekuatan yang diharapkan tetap bersatu untuk menyelesaikan masalah bangsa secara bersama-sama.
       Apakah dengan punya ide Nasakom tersebut bisa dikatakan bahwa Bung Karno adalah seorang Marxis yang lebih dekat dengan golongan komunis pada saat itu? Setiap orang boleh punya persepsi dan pendapatnya sendiri untuk hal ini. Tapi yamg nyata Bung Karno adalah seorang Nasionalis, yang ide Nasakom semata-mata dicetuskan melihat realitas masyarakat pada saat itu demi persatuan. Indonesia menginginkan suatu kolaborasi total semua anasir bangsa dari semua golongan ideologi yang ada termasuk golongan komunis untuk berama-sama bahu membahu membangun Indonesia. Walaupun tidak bisa dipungkiri memang Bung Karno pada periode 1959-1965 sangat terlihat lebih condong memberi angin kepada golongan komunis.
       Barangkali juga ide Bung Karno tentang Nasakom berkaitan dengan pendapat Clifford Geertz yang dalam bukunya The Religion of Java yang membagi masyarakat Jawa dalam tiga varian: priyayi, santri, dan abangan. Yang bisa diterjemahkan priyayi adalah kaum Nasionalis, santri adalah kaum Agamis, dan abangan adalah kaum Komunis.
       Realitas sejarah memang berkata lain setelah terjadi peristiwa 30 September 1965 yang sampai sekarang masih menyimpan misteri dan banyak versi diceritakan dari berbagai pihak bagaimana kejadiannya sampai terjadi pembunuhan para Jendral dan PKI dituduh yang telah melakukan semua ini dan tentara melakukan pembalasan dengan menumpas PKI sampai dengan akar-akarnya.
       Suatu realitas yang mungkin Bung Karno tidak pernah menyangka ataupun mimpipun mungkin tidak, bahwa ada satu golongan kekuatan dalam peta politik di Indonesia yang tidak pernah terpikirkan menjadi suatu kekuatan penting dalam peta perpolitikan Indonesia yaitu kaum militer.
       Bung Karno walaupun bukan orang militer, selalu memakai pakaian lengkap militer Panglima Tertinggi – Jendral Bintang Lima – dengan segala atribut kebesarannya, kata beberapa analis ini adalah salah satu diplomasi model Bung Karno untuk meredam ambisi dan kekuatan militer untuk berkuasa
       Setelah terjadi peristiwa 30 September 1965, serta merta ide Nasakom musnah dan aneh bin ajaib kekuatan kaum komunis serta merta digantikan oleh satu kekuatan politik baru di Indonesia yaitu kaum militer. Walaupun dengan segala dalih, kaum militer tidak pernah mengakui bahwa mereka adalah satu kekuatan politik yang telah mendominasi Indonesia selama 32 tahun. Mereka selalu mengatakan bahwa militer berdiri dibelakang semua golongan.
       Kesimpulannnya bahwa realitas politik di Indonesia semenjak jaman kemerdekaan sampai dengan saat ini pernah ada empat golongan kekuatan politik: kaum nasionalis, kaum agamis, kaum komunis, dan kaum militer (dan motor politik pendukungnya). Masing-masing kekuatan politik pernah mengalami jaman keemasan dan juga pernah terhempas dalam kancah politik di Indonesia. Dalam realitasnya setiap golongan kekuatan politik yang pernah mendominasi kekuasaan dan menjalankan pemerintahan Republik Indonesia belum ada yang mampu mengantarkan Indonesia menuju cita-cita bangsa untuk menjadi negara yang adil, makmur dan sejahtera.
       Pada awal kemerdekaan kaum nasionalis dengan motor politiknya PNI (Partai Nasional Indonesia) pernah memegang dominasi pemerintahan sampai pada sekitar tahun 1959. Setelah Bung Karno membuat dekrit pada tanggal 1 Juli 1959 untuk kembali ke UUD ’45, maka kekuasaan mutlak ada di tangan Bung Karno yang lebih memberikan angin pada kaum komunis untuk mendominasi kancah politik di Indonesia (atau terbawa oleh strategi kaum komunis) pada periode 1959 s/d 1965.

KESIMPULAN
       Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya . Pada bulan 5 Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden. Soekarno juga membubarkan Konstituante yang ditugasi untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya menyatakan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945, dengan semboyan “Kembali ke UUD’ 45″. Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting.
       PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara nasionalisme, agama (Islam) dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.
       NASAKOM telah menjadi NASA yang pada waktu antaranya kom-nya telah musnah dan pernah digantikan kaum militer. Memang dari empat golongan ideologi yang pernah ada di Indonesia: golongan nasionalis, golongan agamis, golongan komunis, dan golongan militer hanya golongan agamis yang belum pernah menonjol dalam menjalankan pemerintahan eksekutif.
        Mungkin momentumnya telah tiba, apabila memang golongan agamis bisa menunjuknan dirinya sebagai partai yang bersih, tidak terkontaminasi penyakit korupsi (masalah utama bangsa kita). Mungkin partai dengan haluan agamis akan menjadi pilihan alternatif dikarenakan partai-partai besar yang ada saat ini telah gagal mengantarkan Indonesia menjadi negara yang seperti diamanatkan pada pembukaan UUD ’45: suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Di tahun 1962, perebutan Irian Barat secara militer oleh Indonesia mendapat dukungan penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan terhadap perlawanan penduduk adat(Sumber; penasoekarno.wordpress.com)

PERISTIWA-PERISTIWA SEKITAR PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI


BAB I
PERISTIWA SEKITAR PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945 DAN PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN INDONESIA

A.     UPAYA PERSIAPAN KEMERDEKAAN INDONESIA

1. BPUPKI
Pada tanggal 1 Maret 1945 pemerintah pendudukan Jepang di bawah pimpinan Letjen Kumakici Harada mengumumkan pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai ( BPUPKI ) untuk menghadapi situasi kritis. Susunan anggota pengurusnya adalah 1 orang ketua 2 orang ketua muda dan 60 orang anggota. BPUPKI mulai bersidang pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 untuk merumuskan dasar Negara dan UUD.Akhirnya pada tanggal 22 Juni 1945 lahirlah Piagam Jakarta.
Pada tanggal 14 Juli 1945 BPUPKI melaksanakan sidang yang kedua untuk menerima laporan dari ketua panitia ( Soekarno ) yang terdiri dari 3 keputusan yaitu :
a.       Pernyataan Indonesia merdeka
b.       Pembukaan UUD
c.       Batang Tubuh UUD.

2. PPKI
Setelah BPUPKI selesai melaksanakan tugasnya, maka Jepang segera membubarkannya dan membentuk PPKI ( Dokuritsu Junbi Iinkai ) pada tanggal 7 Agustus 1945 yang berjumlah 21 orang dan tanpa sepengetahuan Jepang ditambah 6 orang anggota sehingga PPKI sudah diambil alih sebagai alat perjuangan rakyat Indonesia dan bukan semata-mata badan yang dikehendaki Jepang.
Pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 kota Hirosima dan Nagasaki dibom atom oleh sekutu, sehingga Jepang bertekuk lutut pada sekutu. Sementara Soekarno, Muhammad Hatta dan Radjiman dipanggil oleh Jenderal Terauchi di Dalat-Vietnam untuk menerima kemerdekaan dari pemerintah Jepang.

B. PROSES PERUMUSAN NASKAH PROKLAMASI
Berita penyerahan Jepang terhadap Sekutu tidak bisa ditutup-tutupi lagi, oleh karena itu golongan pemuda mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan namun para golongan tua berpendapat harus dimusyawarahkan dulu dengan PPKI karena merupakan alat perjuangan. Akhirnya tanggal 16 Agustus pagi Bung Karno dan Bung Hatta diculik oleh golongan pemuda dan dibawa ke Rengas Dengklok ( selatan Karawang ). Jam 12 malam akhirnya mereka ke rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda untuk merumuskan naskah proklamasi. Rumusan naskah Proklamasi yang asli adalah tulisan tangan Bung Karno dan diketik oleh Sayuti Melik dengan beberapa perubahan, seperti kata tempoh diganti tempo, masalah tanggal dan yang menandatangani naskah proklamasi.

C. MAKNA PROKLAMASI BAGI BANGSA INDONESIA
Pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 hari Jum’at dibacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia yang sebelumnya dilakukan pengibaran bendera Merah Putih dan sambutan Walikota Soewiryo dan dr Muwardi. Peristiwa besar itu hanya berlangsung selama kurang lebih satu jam dengan penuh khidmat, sekalipun sangat sederhana namun membawa perubahan yang luar biasa dalam kehidupan bangsa Indonesia yaitu Indonesia bebas dari belenggu penjajah.

D. PEMBENTUKAN BADAN KELENGKAPAN NEGARA
Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI melakukan rapat yang membahas :
1.       Penetapan dan pengesahan Pembukaan UUD 1945
2.       Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
3.       Pembentukan Badan Komite Nasional sebagai pembantu presiden


Pada tanggal 19 Agustus 1945 PPKI mengadakan rapat lanjutan yang menghasilkan :
1.       Penetapan 12 menteri yang membantu tugas presiden
2.       Membagi wilayah Indonesia menjadi 8 Propinsi
Untuk menghadapi kekuatan Jepang dan Sekutu pemerintah Indonesia membentuk Badan Kemanan Rakyat ( BKR ) pada tanggal 22 Agustus 1945 yang berada di bawah wewenang KNIP. Oleh karena datangnya pasukan Sekutu dan NICA yang silih berganti sehingga pemerintah memutuskan dibentuknya Tentara Keamanan Rakyat ( TKR ) pada tanggal 5 Oktober 1945.Pada tanggal 1 Januari 1946 diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat ( TKR ) lalu tanggal 26 Januari berubah menjadi Tentara Republik Indonesia ( TRI ). Untuk menyempurnakan TRI maka pemerintah membentuk Tentara Nasional Indonesia ( TNI ) tanggal 7 Juni 1947.

BAB II
KONFLIK INDONESIA-BELANDA TAHUN 1945-1949

A. PETA WILAYAH PENDUDUKAN BELANDA
Setelah Indonesia merdeka tidak berarti Indonesia bebas dari segala bentuk penguasaan asing tapi masih berhadapan dengan Belanda yang ingin mencoba kembali menananmkan kekuasaannya. Belanda menggunakan berbagai macam cara untuk bisa kembali berkuasa seperti, membonceng pada pasukan sekutu dan pembentukan Negara-negara boneka.
Pembentukan Negara boneka bertujuan untuk mengepung kedudukan pemerintah Indonesia atau mempersempit wilayah kekuasaan RI. Setiap ada perjanjian selalu diingkari oleh Belanda. Belanda hanya mengakui wilayah RI meliputi Jawa dan Sumatera yang di dalamnya berdiri Negara-negara boneka bikinan Belanda.

B. PERBEDAAN IDIOLOGI DAN STRATEGI DALAM MENGHADAPI BELANDA
Pada tanggal 1 Nopember 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat Politik dengan tujuan agar kedaulatan RI diakui dan agar di Indonesia terbentuk dan berkembang partai Politik.Namun kemauan itu diselewengkan dengan terjadinya pergeseran bentuk pemerintah dari bentuk Kabinet Presidensial ke Kabinet parlementer.Sutan Syahrir terpilih sebagai Perdana Menterinya. Pemerintah Sutan Syahrir berkeinginan mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui jalur diplomasi bukan dengan kekuatan senjata. Hal inilah yang menimbulkan pro kontra terhadap strategi menghadapi Belanda. Konflik ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk melancarkan Agresi militernya.

C. WILAYAH PENDUDUKAN BELANDA DAN PUSAT-PUSAT KONFLIK INDONESIA-BELANDA    DI  BERBAGAI DAERAH
Pada tanggal 15 September 1945 sekutu masuk ke Indonesia dan membonceng NICA ( Belanda ) yang bertujuan untuk menjajah kembali Bangsa Indonesia sehingga terjadi pertempuran Ambarawa, Bandung Lautan Api, Pertempuran di Sulaswesi Selatan, Peristiwa Merah Putih di Minahasa, Pertempuran Medan Area, 5 Hari di semarang, Puputan Margarana, dsb.
Untuk menghentikan tembak menembak antara RI-Belanda maka mulai 10 Nopember 1946 diadakan perundingan Linggajati (ditanda tangani 25 Maret 1947) yang isinya :
1.       Belanda mengakui secara defakto wilayah RI atas Jawa, Sumatera dan Madura
2.       RI-Belanda akan membentuk NIS dengan nama RIS
3.       RI-Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
4.       Belanda harus meninggalkan wilayah RI selambat-lambatnya 1 Januari 1949.
Ternyata Belanda menghianati isi perjanjian tersebut dan melakukan Agresi Militer I tanggal 21 Juni 1947 sehingga mendapat reaksi PBB. Penghentian tembak menembak dilakukan tanggal 1 Agustus 1947 dan DK PBB membentuk KTN yang anggota-anggotanya :
1.       Australia ( Wakil Indonesia ) : Richard Kirby
2.       Belgia ( Wakil Belanda ) : Paul Van Zeeland
3.       USA ( Penengah ) : Dr. Frank Graham
Anggota KTN tersebut membantu pihak RI-Belanda untuk mengadakan perundingan di atas geladak Kapal Amerika USS RENVILLE ( 8 Desember 1947 ) dan ditandatangani tanggal 17 Januari 1948 yang isinya :
1.       Belanda mengakui wilayah RI yang sedang diduduki ( Yogyakarta )
2.       TNI harus hijrah ke daerah RI
3.       RI merupakan bagian dari RIS
4.       Dalam jangka waktu ± 6 bulan sampai 1 tahun akan diadakan pemilu untuk membentuk dewan konstitusi RIS.
Namun tidak semua masyarakat Indonesia menyetujui isi perjanjian tersebut, seperti SM Kartosuwiryo yang mendirikan DI / TII, Pemberontakan PKI Madiun ( Muso ) 1948. Belanda bertekad untuk menghapus RI dan menghancurkan kekuatan TNI. Untuk iti Belanda melakukan Agresi militer II tanggal 19 desember 1948. Belanda menyerbu Yogyakarta dan menawan presiden dan wapres serta pemimpin politik lainnya. Sebelum itu presiden sempat mengirimkan kawat pada Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk PDRI di Sumatera. Apabila tidak sanggup maka diserahkan pada Sudarsono, AA Maramis dan LN Palar untuk membentuk pemerintah pelarian RI di India.
Pada tanggal 28 Januari 1948 DK PBB memutuskan penghentian operasi militer Belanda dan para pemimpin RI yang ditawan harus dikembalikan. Pada tanggal 14 April 1949 diadakan perjanjian ROOM ROYEN di bawah pengawasan UNCI ( perubahan dari KTN ) dan pada tanggal 7 Mei 1949 terjadi kesepakatan :
a. Pernyataan Delegasi Indonesia
1.       Menghentikan perang gerilya
2.       Bekerjasama mengembalikan keamanan
b. Pernyataan Delegasi Belanda
1.       Menyetujui pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta
2.       Menghentikan operasi militer serta membebaskan para pemimpin RI dan selekasnya mengadakan KMB

D. HASIL KMB DAN KELANJUTAN KONFLIK INDONESIA-BELANDA
KMB dilaksanakan di DENHAAG ( Negeri Belanda ) pada tanggal 22 Agustus 1949 sd 29 Oktober 1949 dengan hasil keputusan :
a.       Belanda menyerahkan kedaulatan RI kepada RIS
b.       Antara RIS dan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia- Belanda yang dikepalai oleh Ratu Belanda
c.       Tentara Belanda akan ditarik mundur dan tentara KNIL akan dibubarkan
d.       Masalah Irian Barat akan dibicarakan setahun setelah penyerahan kedaulatan.
Pada tanggal 27 Desember 1949 dilakukan penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada RIS yang wilayahnya bekas kekuasaan Belanda tanpa Irian Barat. Penyerahan kedaulatan dilakukan di tiga tempat antara lain :
a.       Amsterdam dilakukan oleh Ratu Belanda kepada PM RIS
b.       Yogyakarta dilakukan oleh Pemerintah RI pada pemerintah RIS
c.       Jakarta dilakukan oleh Wakil Tinggi Mahkota Belanda kepada RIS
Pembentukan Negara RIS ( 16 negara bagian ) berdasarkan isi KMB ternyata tidak disetujui oleh masyarakat Indonesia dan dengan tegas mereka menuntut dibubarkannya RIS dan kembali pada Negara Kesatuan RI mengingat Bahasa, bendera maupun hari Nasional sama dengan RI. Berdasarkan hasrat dan desakan Rakyat Indonesia maka pada tanggal 17 Agustus 1950 RIS dibubarkan dan dibentuk NKRI dan saat itu juga Konstitusi RIS diganti dengan UUD Sementara RI dan bangsa Indonesia segera memasuki era baru yaitu Demokrasi Liberal.

BAB III
ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA

A. PKI MADIUN 1948
Munculnya PKI merupakan perpecahan pada tubuh SI ( Sarikat Islam ) yang mendapat pengaruh ISDV ( Internasionalisme Sosialisme Democratise Vereeniging ) yang didirikan oleh HJFM. Snevliet Dkk pada bulan Mei 1914 di Semarang yang pada bulan Desember diubah menjadi PKI.
Pada tanggal 13 Nopember 1926 melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda. Pada tanggal 18 September 1948 MUSO memimpin pemberontakan terhadap RI di Madiun. Tujuannya ingin mengubah dasar negara Pancasila menjadi dasar negara komunis. Pemberontakan ini menyebarhampir di seluruh daerah Jawa Timur namun berhasil di gagalkan dengan ditembak matinya MUSO sedangkan Semaun dan Dharsono lari ke Rusia.

B. DI/TII
1. Jawa barat
Dipimpin oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo karena tidak setuj terhadap isi perjanjian Renville. Sewaktu TNI hijrah ke daerah RI ( Yogyakarta ) ia dan anak buahnya menolak dan tidak mau mengakui Republik Indonesia dan ingin menyingkirkan Pancasila sebagai dasar negara. Untuk itu ia memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia dengan nama Darul Islam ( DI )
2. Jawa tengah
Dipimpin oleh Amir Fatah dan Kyai Sumolangu. Selama Agresi Militer Belanda ke II Amir Fatah diberi tugas menggabungkan laskar-laskar untuk masuk dalam TNI. Namun setelah banyak anggotanya ia beserta anak buahnya melarikan diri dan menyatakan bagian dari DI/TII.
3. Sulawesi Selatan
Dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakar. Dia berambisi untuk menduduki jabatan sebagai pimpinan APRIS ( Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat ) dan menuntut aga45r Komando Gerilya Sulawesi Selatan ( KGSS ) dimasukkan ke dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin. Tuntutan tersebut ditolak oleh pemerintah sebab hanya mereka yang memenuhi syarat saja yang akan menjadi tentara maka terjadilah pemberontakan tersebut.
4. Aceh
Dipimpin oleh Daud Beureueh Gubernur Militer Aceh, karena status Aceh sebagai daerah Istimewa diturunkan menjadi sebuah karesidenan di bawah propinsi Sumatera Utara. Ia lalu menyusun kekuatan dan menyatakan dirinya bagian dari DI/TII. Pemberontakan ini dapat dihentikan dengan jalan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh ( MKRA ).
5. Kalimantan Selatan
Dipimpin oleh Ibnu Hajar, ia menyatakan dirinya bagian dari DI/TII dengan memperjuangkan kelompok rakyat yang tertindas. Ia dan anak buahnya menyerang pos-pos kesatuan tentara serta melakukan tindakan pengacauan yang pada akhirnya Ibnu Hajar sendiri ditembak mati.

C. APRA ( Angkatan Perang Ratu Adil )
Pemberontakan ini dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling bekas tentara KNIL. Tujuannya agar pemerintah RIS dan negara Pasundan mengakui APRA sebagai tentara negara Pasundan dan agar negara Pasundfan tidak dibubarkan/dilebur ke dalam NKRI.

D. ANDI AZIS
Beliau merupakan komandan kompi APRIS yang menolak kedatangan TNI ke Sulawesi Selatan karena suasananya tidak aman dan terjadi demonstrasi pro dan kontra terhadap negara federasi. Ia dan pasukannya menyerang lapangan terbang, kantor telkom, dan pos-pos militer TNI. Pemerintah mengeluarkan ultimatum agar dalam tempo 4 x 24 jam ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.

E. RMS ( Republik Maluku Selatan )
Pemberontakan ini dipimpin oleh Dr. Christian Robert Stevenson Soumokil bekas jaksa agung NIT ( Negara Indonesia Timur ). Ia menyatakan berdirinya Republik Maluku Selatan dan memproklamasikannya pada 25 April 1950. Pemberontakan ini dapat ditumpas setelah dibayar mahal dengan kematian Letkol Slamet Riyadi, Letkol S. Sudiarto dan Mayor Abdullah.

F. PRRI/PERMESTA
Setelah Pemilu I dilaksanakan, situasi semakin memburuk dan terjadi pertentangan . Beberapa daerah merasa seolah-olah diberlakukan secara tidak adil ( merasa dianaktirikan ) sehingga muncul gerakan separatis di Sumatera yaitu PRRI ( Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia ) dipimpin oleh Kolonel Ahmad Husen dan PERMESTA ( Piagam Perjuangan Rakyat Semesta ) di Sulawesi Utara dipimpin oleh D.J. Somba dan Kolonel Ventje Sumual.
G. G 30 S/PKI.
`Pada tanggal 30 September 1965 jam03.00 dinihari PKI melakukan pemberontakan yang dipimpin oleh DN Aidit dan berhasil membunuh 7 perwira tinggi. Mereka punya tekad ingin menggantikan Pancasila sebagai dasar negara dengan Komunis-Marxis. Setelah jelas terungkap bahwa PKI punya keinginan lain maka diadakan operasi penumpasan :
1.       Menginsyafkan kesatuan-keasatuan yang dimanfaatkan oleh PKI
2.       Merebut studio RRI dan kantor besar Telkom dipimpin Kolonel Sarwo Edhy Wibowo dari RPKAD
3.       Gerakan pembersihan terhadap tokoh-tokoh yang terlibat langsung maupun yang mendalanginya.
Akhirnya PKI dinyatakan sebagai partai terlarang dan tidak boleh lagi tersebar di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan SK Presiden yang ditanda tangani pengemban Supersemar Ltjen Soeharto yang menetapkan pembubaran PKI dan ormas-ormasnya tanggal 12 Maret 1966.


BAB IV
PERKEMBANGAN POLITIK DAN EKONOMI SERTA PERUBAHAN MASYARAKAT DI INDONESIA DALAM UPAYA MENGISI KEMERDEKAAN

A. PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA DALAM UPAYA MENGISI KEMERDEKAAN
1. DEMOKRASI LIBERAL
Pada masa berlakunya Konstitusi RIS ( 1949 ) dan UUDS ( 1950 ) bangsa kita melaksanakan pesta Demokrasi Liberal dengan menggunakan sistem pemerintahan secara parlementer, di mana kepal negara adalah presiden sedangkan kepala pemerintahan dipimpin oleh Perdana Menteri dan bertanggung jawab pada Parlemen ( DPR ). Pada masa itu situasi politik tidak stabil karena sering terjadi nya pergantian kabinet dan sering terjadi pertentangan politik di antara partai-partai yang ada. Adapun kabinet yang pernah memerintah antara lain
a. Kabinet Natsir ( 6 September 1950 – 20 Maret 1951 )
Kabinet ini jatuh karena ada mosi tidak percaya bahwa M. Natsir tidak mampu menyelesaikan masalah Irian Barat dan sering terjadi pemberontakan sehingga muncul gerakan DI/TII, Andi Azis, APRA, RMS dsb.
b. Kabinet Sukiman ( 26 April 1951 – 3 April 1952 )
Masalah yang dihadapinya adanya pertukaran nota antara Menlu Ahmad Subarjo dengan Duber AS Merle Cochran tentang bantuan ekonomi dan militer berdasarkan Mutual Security Act ( MSA ) atau UU kerjasama keamanan.
c. Kabinet Wilopo ( 3 April 1952 – 3 Juni 1953 )
Masalah yang dihadapinya yaitu :
1. Gerakan separatis di Sumatera dan Sulawesi
2. Peristiwa 17 Oktober
3. Peristiwa Tanjung Morawa
d. Kabinet Ali I ( 31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955 )
Masalah yang dihadapinya yaitu pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi serta pergantian KSAD dari Bambang Sugeng pada Bambang Oetoyo
e. Kabinet Burhanudin Harahap ( 12 Agustus 1955 – 3 maret 1956 )
Pada masa ini berhasil melaksanakan Pemilu I dengan 2 periode , tanggal 29 September 1955 memilih anggota DPR dan tanggal 15 Desember 1955 memilih anggota Badan Konstituante. Pemilu I ini dimenangkan oleh 4 partai besar yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI.
f. Kabinet Ali II ( 24 Maret 1956 – 14 Maret 1957 )
Masalah yang dihadapinya yaitu timbulnya gerakan anti China dan pemberontakan PRRI/PERMESTA.
g. Kabinet Djuanda
Kabinet ini jatuh karena Badan Konstituante tidak bisa membuat UUD yang baru pengganti UUDS sehingga presiden mengeluarkan Dekritnya tanggal 5 Juli 1959 dan mengumumkan berlakunya Demokrasi Terpimpin.

2. DEMOKRASI TERPIMPIN
Karena Badan Konstituante tidak dapat membuat UUD baru pengganti UUDS maka pada tanggal 5 juli 1959 jam 17.00 hari jum’at Presiden Soekarno mengeluarkan Dekritnya yang berisi :
a.       Pembubaran Badan Konstitiante
b.       Berlaku kembalinya UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS
c.       Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu singkat
Sejak saat itu Presiden mengumumkan berlakunya sistem Demokrasi Terpimpin yang di dalamnya banyak terjadi penyimpangan dan penyelewengan terhadap UUD 1945 antara lain :
a)      MPRS mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup
b)     Presiden mengangkat MPRS
c)      Pidato presiden yang berjdul ” Penemuan Kembali Revolusi kita ” dijadikan GBHN
d)     Lembaga tinggi dan tertinggi negara dijadikan pembantu presiden
e)      Presiden membubarkan DPR hasil pemilu dan menggantikannya dengan DPR-GR
Pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden lebih anyak dipengaruhi oleh PKI dan PKI memainkan peranan pentingnya sehingga mendapatkan perlakuan istimewa dari presiden. Dalam rangka mewujudkan tujuannya maka PKI melakukan tindakan antara lain :
a)      Dalam Negeri
1.       Berusaha menyusup ke parpol dan ormas yang menjadi lawan politiknya kemudian memecah belah
2.       Dalam bidang pendidikan mengusahakan agar ajaran Marxis Leninisme menjadi salah satu masta pelajaran wajib
3.       Dalam bidang militer, mengindoktrinasi perwira ABRI dengan ajaran komunis
b)     Luar Negeri
Berusaha mengubah politik luar negeri yang bebas dan aktif menjurus ke negara-negara yang komunis.

B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEGAGALAN PENYUSUNAN UUD BARU
Badan Konstituante yang terbentuk hasil pemilu 1955 bertugas merumuskan konstitusi/UUD yang tetap sebagai pengganti UUD Asementara tahun 1950 bersidang pada tanggal 20 Nopember 1956. Ternyata dalam sidangt tersebut diwarnai dengan perdebatan sengit, para anggota Badan Konstituante lebih banyak mementingkan urusan partainya sendiri daripada kepentingan rakyat. Untuk itulah maka pada 21 Pebruari 1957 mengajukan gagasan yang disebut Konsepsi Presiden yang berisi :
a.       Demokrasi terpimpin
b.       Kabinet Gotong Royong yang beranggotakan semua wakil parpol
c.       Pembentukan Dewan Nasional yang beranggotakan semua wakil partai politik.

Konsepsi ini ditolak oleh beberapa partai seperti Masyumi, NU, PSII, Partai Katolik dan PRI karena lebih banyak didominasi oleh PKI. Pada tanggal 22 April 1959 dihadapan sidang Badan Konstitante presiden mengumumkan kembali ke UUD 1945 namun jumlah pendukung tidak mencapai KUORUM sehingga situasi tetap tidak menentu. Untuk itulah maka presiden mengeluarkan dekritnya pada tanggal 5 Juli 1959.

C. KEBIJAKAN EKONOMI PEMERINTAH DENGAN KONDISI EKONOMI NASIONAL DAN DAERAH   SAMPAI TAHUN 1965

1. SISTEM EKONOMI LIBERAL
a. Nasionalisasi De Javasche Bank
Sejak tahun 1951 Bangsa Indonesia hanya mengandalkan hasil perkebunan tanpa ditunjang oleh barang ekspor lain sedangkan barang impor semakin bertambah. Untuk itu pemerintah pada masa kabinet Sukiman menasionalisasi Bank milik Belanda menjadi milik Indonesia dengan nama Bank Indonesia. Usaha ini bertujuan untuk mengatasi krisis keuangan saat itu dan untuk menata ekonomi9 ekonomi Indonesia ke arah yang lebih baik.


b. Sistem ekonomi Gerakan Benteng
Sistem ini merupakan gagasan Dr. Soemitro Djoyohadikusumo yang intinya merupakan suatu kebijakan untuk melindungi pengusaha pribumi namun gagal karena para pegusaha Indonesia lamban dalam usahanya dan ada yang menyalahgunakan bantuan pemerintah.
Usaha ini dilanjutkan oleh Menteri Yusuf Wibisono, pengusaha Indonesia diberikan pinjaman modal dengan harapan akan menjadi produsen dan dapat menghemat devisa negara.
Usaha selanjutnya dilakukan oleh Menteri Perekonomian Mr. Iskaq Cokrohadiosuryo yang mengutamakan tumbuh dan berkembangnya pengusaha swasta nasional pribumi.
c. Sistem ekonomi Ali-Baba
Merupakan bentuk kerjasama antara pengusaha pribumi ( Ali ) dan non pribumi ( Baba). Ide inipun mengalami kegagalan karena pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dan pengusaha pribumi hanya diperalat untuk mempermudah mendapatkan kredit.

2. SISTEM EKONOMI PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN
a. Devaluasi mata uang
Tanggal 24 Agustus 1959 pemerintah mendevaluasi mata uang Rp. 100,00 menjadi Rp. 100,00 dan Rp. 500,00 menjadi Rp. 50,00, sementara yang di bawah Rp. 100,00 tidak didevaluasi. Tujuan devaluasi untuk meningkatkan nilai rupiah dan rakyat kecil tidak dirugikan.
b. Menekan laju inflasi
Dalam upaya membendung aju inflasi pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU no. 2 tahun 1959 dan mulai berlaku sejak tanggal 25 Agustus 1959 dengan maksud untuk mengurangi banyaknya uang yang beredar agar dapat memperbaiki kondisi keuangan dan pereknomian negara.
c. Melaksanakan pembangunan nasional
Pada tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno menyampaikan Deklarasi Ekonomi   (DEKON) di Jakarta.Tujuannya adalah untuk menciptakan ekonomi nasional yang bersifat demokratis dan bebas dari imperialisme untuk mencapai kemajuan ekonomi yang berpegang pada sistem ekonomi berdikari.